Assalamua'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mohon sekali pencerahan dari ustadz tentang beda hari wuquf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah tahun ini. Pemerintah Saudi Arabia menetapkan wuquf jatuh hari Jumat. Berarti hari Jumat itu tanggal 9 dimana kita yang tidak haji disunnahkan untuk mengerjakan puasa Arafah.
Sementara pemerintah RI menetapkan bahwa tanggal 9 Dzulhijjah jatuh bukan hari Jumat melainkan hari Sabtunya. Dan lebaran jadi tanggal 10 yaitu hari Ahad.
Pertanyaan saya :
1. Kita yang di Indonesia ini, harus ikut pemerintah yang manakah, ikut pemerintah Saudi dan kita puasa hari Jumat lalu lebaran hari Sabtu? Ataukah kita ikut pemerintah Indonesia, yaitu puasa hari Sabtu dan lebaran hari Ahad?
2. Mohon penjelasan dari ustadz dan juga dari para ulama lainnya.
Terima kasih.
Wassalam
Rumahfiqih.com
Mohon sekali pencerahan dari ustadz tentang beda hari wuquf di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah tahun ini. Pemerintah Saudi Arabia menetapkan wuquf jatuh hari Jumat. Berarti hari Jumat itu tanggal 9 dimana kita yang tidak haji disunnahkan untuk mengerjakan puasa Arafah.
Sementara pemerintah RI menetapkan bahwa tanggal 9 Dzulhijjah jatuh bukan hari Jumat melainkan hari Sabtunya. Dan lebaran jadi tanggal 10 yaitu hari Ahad.
Pertanyaan saya :
1. Kita yang di Indonesia ini, harus ikut pemerintah yang manakah, ikut pemerintah Saudi dan kita puasa hari Jumat lalu lebaran hari Sabtu? Ataukah kita ikut pemerintah Indonesia, yaitu puasa hari Sabtu dan lebaran hari Ahad?
2. Mohon penjelasan dari ustadz dan juga dari para ulama lainnya.
Terima kasih.
Wassalam
Jawaban : Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Sebenarnya pertanyaan antum ini sudah cukup banyak dijelaskan. Bahkan web rumahfiqih.com ini juga berkali-kali menuliskan lewat berbagai tulisan dan artikel. Kalau antum rajin searching, pasti ketemu jawabannya. Namun tidak mengapa hal ini dijelaskan sekali lagi, karena waktunya memang sudah mepet tinggal dua hari lagi. Kali ini saya tidak menjelaskan panjang lebar, tetapi cukup mengutip saja pendapat dari para ulama resmi dari Kerajaan Saudi Arabia. Rasanya akan lebih pas kalau fatwa resmi ulama Kerajaan Saudi Arabia yang menjelaskan, dari para fatwa ulama negeri lainnya. Salah satu ulama besar di Saudi adalah Syeikh Al-Ustaimin rahimahullah. Berikut petikannya :
وكذلك لو قدر أنه تأخرت
الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم فإنهم يصومون يوم
التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة
Begitu juga bila ditetapkan hasil
rukyat negara itu tertinggal dari Mekkah, sehingga tanggal 9 di Mekkah
menjadi tanggal 8 di negara itu, maka penduduk negara itu puasanya
pada tanggal 9 menurut negara itu, walaupun itu berarti sudah tanggal
sudah tanggal 10 di Mekkah. (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)Fatwa dari Syeikh Utsaimin ini mungkin terasa aneh buat sebagian kita, yang sudah terlanjur ngotot ingin puasanya ikut jadwal pemerintah Saudi Arabia. Seolah-olah ada semacam pandangan yang ambigu dari sebagian kita. Kalau lebaran Idul Fithri kita ikut pemerintah RI, tapi kalau lebaran Idul Adha, kita ikut Saudi. Sebenarnya kaidah semacam ini pun agak kurang jelas asal usulnya. Sebab ketika kita menerima ada konsep ta'addud al-mathali', maka berlaku untuk semua kasus tanpa harus dipisah-pisah lebaran biasa dan lebaran haji. Namun seandainya kita ini cenderung menolak adanya sistem ta'addud al-mathali' dan hanya menerima konsep wihdatul-mathali, bisa saja kita puasa dan lebaran ikut pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Tetapi kalau mau jadi penganut 'mazhab' wihdatul-mathali', seharusnya konsekuen, tidak plintat-plitut dan juga tidak boleh ambigu. Kalau lebaran Idul Fithri masih ikut keputusan pemerintah RI dan Idul Adha ikut keputusan Pemerintah Saudi Arabia, namanya masih ambigu dan plintat-plintut. Sementara dalam dunia ilmu fiqih, kita tidak mengenal adanya mazhab talfiq, yaitu mazhab campur aduk dengan cara ikut ini sebagian dan ikut itu sebagian. Anggaplah kita berpegang tegus pada prinsip wihdatul-mathali', yaitu bila ada satu tempat di bumi ini berhasil melihat hilal, maka seluruh dunia wajib terikat, itu pun tidak bisa dijalankan. Mengapa? Karena ternyata pemerintah Saudi Arabia sendiri malah berpegang kepada pendapat ta'addud al-mathali' dan bukan wihdatul-mathali'. Buktinya, mereka tidak menunggu hasil rukyat dari negara lain di dunia. Kalaupun ada negara yang mengumumkan duluan telah berhasil merukyat hilal, pemerintah Saudi masa bodoh saja dan tidak peduli dengan hasil rukyat negara lain itu. Sebab prinsip yang dipegang oleh pemerintah negara Saudi Arabia, bahwa masing-masing negara silahkan melakukan rukyat sendiri-sendiri, dan hasilnya silahkan dipraktekkan sendiri-sendiri. Tiap negara Islam sama sekali tidak pernah terikat dengan hasil rukyat di Saudi, sebagaimana Saudi tidak merasa terikat dengan hasil rukyat negara lain. Dalam bahasa gaul Jakarta, prinsipnya adalah : Lu lu gue gue. Bahkan ini juga penting dicatat, bahwa Kerajaan Saudi Arabia menetapkan tanggal 9-10 Dzulhijjah itu untuk wilayah negaranya sendiri. Penetapan ini tidak berlaku buat seluruh negara di dunia. Dan wilayah kerajaan Saudi Arabia itu sangat terbatas. Dan oleh karena itulah kalau kita simpulkan fatwa Syeikh Utsaimin ini menjadi sangat jelas, bahwa buat kita yang tinggal di Indonesia, puasanya tidak mengikuti pengumaman dari Saudi Arabia. Maka beliau menekankan bahwa pendapat yang inilah yang lebih rajih :
هذا هو القول الراجح لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطرو
Inilah pendapat yang kuat. Karena
Nabi SAW bersabda,"Bila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan
apabila melihat hilal lagi (hari raya), maka berbukalah” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)Tidak Ada Shalat Idul Adha Tanggal 11 Dzulhijjah Yang perlu diluruskan lagi adalah kelakukan sebagian orang yang ngotot meyakini lebaran haji Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, karena tetap mau ikut pengumuman negara Saudi. Kalau sudah meyakini lebaran hari Sabtu, kenapa hari Ahad malah ikut shalat Idul Adha? Ini berarti adalah pelecehan atas keyakinan dan sikapnya sendiri. Kalau dia ikut shalat hari Ahad, berarti dalam keyakinannya dia shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Ini malah jadi agama baru yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mana ada perintah Nabi SAW untuk mengerjakan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah? Tidak Ada Qadha Shalat Idul Adha Mereka yang rada ngotot untuk shalat di hari Ahad padahal meyakini Idul Adha itu hari Sabtu sering berdalil bahwa tidak mengapa shalat di hari Ahad, karena itu adalah qadha' shalat. Maka jawabannya adalah bahwa sesungguhnya para ulama sepakat bahwa shalat Idul Adha dan begitu juga Idul Fithri tidak ada qadha'nya. Disebutkan oleh Syeikh Al-Ustaimin :
فإذا فاتت فإنها لا تقضى إلا بدليل يدل على قضائها إذا فاتت
Bila shalat ini terlewat, maka tidak perlu diqadha', kecuali bila ada dalil yang menegaskan keharusan qadha'nya.Maka saya menyebut pendapat yang seperti ini bukan wihadutl mathali', bukan ta'addu al-mathali', tetapi pendapat SS yaitu Serba Saudi. Sayangnya belum sampai mengikuti jadwal shalat Saudi. Mengadakan Shalat Id Harus Ada Izin Pemerintah Kalau kita rajin buka-buka kitab fiqih, disana akan kita temukan bahwa di antara syarat dibolehkannya menyelenggarakan shalat Idul Fithr atau Idul Adha adalah adanya izin dari sultan, yang dalam hal ini maksudnya adalah pemerintah yang sah. Saya tidak tahu apakah pemerintah negara kita ini benar-benar memberi izin untuk mereka yang melakukan shalat Id di luar apa yang telah diumumpkan secara resmi oleh negara. Tetapi sepanjang yang saya tahu, kalau hal itu terjadi di Saudi misalnya, maka tentu akan dilarang. Misalnya pemerintah negara Saudi menetapkan lebaran hari Sabtu, kalau sampai ada kelompok masyarakat yang ngotot dan mbalelo tidak mau tunduk kepada ketetapan resmi pemerintah, lalu secara terang-terangan bikin shalat Id hari Ahad, atau hari Jumat, tentu saja akan diperkarakan karena dianggap melawan negara, sekaligus melakukan bid'ah dalam agama. Begitu juga kalau pemerintah Saudi Arabia sudah mengumumkan wuquf hari Jumat, maka semua penduduknya wajib ikut keputusannya. Rasanya tidak akan ada orang yang melakukan wukuf hari Sabtu atau hari Kamis. Sebab yang punya ketetapan adalah pemerintah setempat, yang dalam hal ini pemerintah Saudi Arabia. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA |