Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat dan
hidayah bagi umat manusia. Sudah barang tentu ia tidak akan lalai
menggambarkan dan menjelaskan jatidiri manusia yang sebenarnya, agar
mereka mengerti dan tidak keliru bersikap. Sungguh, kesalahan-kesalahan
terbesar yang menimpa berbagai pemikiran dan filsafat seringkali berawal
dari kesalahan definisi atau cara pandang terhadap jatidiri manusia
ini.
Definisi “manusia” sendiri telah menjadi
obyek perdebatan klasik dalam khazanah pemikiran umat manusia. Mungkin,
pertanyaan tentang “siapa aku” sudah setua kehadiran manusia itu
sendiri, dan berbagai jawaban telah begitu banyak diberikan. Terkadang,
satu sama lain saling bertentangan secara diametral dan tak
terjembatani.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana Al-Qur’an mendefinisikan “manusia”?
Sesuai dengan tradisi Islam, sebagaimana
dijelaskan sebenarnya ada dua cara untuk memformulasikan sebuah
definisi, yaitu hadd ( الحد ) dan rasm ( الرسم ).
Yang pertama berarti spesifikasi yang
tepat atau ringkas tentang karakteristik khas dari sesuatu hal,
sedangkan yang terakhir berarti deskripsi sifat dari sesuatu hal.
Menurut beliau, perbedaan ini menunjukkan bahwa ada hal-hal yang dapat
kita definisikan secara khusus mengenai bagaimana tepatnya dan
karakteristiknya yang khas, dan ada pula hal-hal yang mana kita tidak
bisa terlalu memastikannya, namun kita hanya dapat memastikan dengan
menggambarkan sifat-sifatnya.
Walaupun sebagian pemikir muslim
merumuskan hadd manusia dalam kalimat al-hayawan an-nathiq (hewan yang
berpikir), namun – dengan melihat cara Al-Qur’an mendefinisikan manusia –
definisi ini belum mencakup keseluruhan karakternya. Dalam hal ini,
Al-Qur’an menggunakan rasm dengan menggambarkan sifat-sifat “manusia”,
salah satunya dengan memakai istilah berbeda untuk menyebut mereka,
yaitu: basy`r, ins, insan, naas, dan anam. Masing-masing istilah ini
menunjuk kepada kualitas dan entitas tertentu dalam diri mereka. Mari
kita kaji satu persatu.
Pertama, basyar ( البشر ). Disebutkan
dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, bahwa istilah ini berasal dari
kata dasar basyarah ( البشرة ), artinya bagian permukaan kulit,
sedangkan adamah ( الأدمة ) adalah bagian dalamnya. Manusia disebut
dengan basyar karena kulit mereka lebih banyak terlihat di permukaan
tubuhnya dibanding rambut, berbeda dengan hewan yang umumnya lebih
banyak ditutupi bulu, rambut, dan wool. Dari kata dasar yang bermakna
“kulit” ini pula muncul istilah mubasyarah ( المباشرة ), artinya
persentuhan kulit dengan kulit secara langsung, dan bangsa Arab
memakainya sebagai kiasan dari hubungan suami istri. Kabar gembira juga
disebut dengan bisyarah ( البشارة ) dan busyra ( البشرى ), karena ketika
seseorang bergembira maka darah menyebar ke seluruh kulitnya sehingga
tampak nyata perubahannya, terutama pada wajah. Dengan demikian, ketika
manusia disebut basyar dalam bahasa Arab, yang dimaksud adalah entitas
fisik yang makan, minum, berjalan di pasar, beranak-pinak, berubah dari
kecil menjadi dewasa, dan akhirnya mati. Basyar adalah manusia secara
biologis dan fisiologis; sebagai materi di alam raya ini. Ini pula inti
gugatan kaum kafir kepada para Nabi yang dikirim kepada mereka, karena
secara fisik mereka adalah basyar, makhluk berbadan wadak seperti
umatnya. Hanya saja, mereka mendapatkan wahyu dari Allah, dan inilah
yang membuat mereka berbeda dari manusia lainnya. Kata basyar muncul 35
kali di dalam Al-Qur’an.
Kedua, ins ( الإنس ). Menurut Dr. ‘Aisyah
‘Abdurrahman Bintu Syathi’ dalam Maqal Fil Insan, kata ini selalu mucul
beriringan dengan kata jinn ( الجن ) di dalam Al-Qur’an, sebagai dua
istilah yang saling berlawanan; dan jumlahnya ada 18 tempat. Secara
bahasa, ins berarti jinak, akrab, ramah, menyenangkan; dan kesan ini
berkebalikan dengan istilah jinn yang artinya “tertutup” atau
“tersembunyi”, sehingga menimbulkan kesan liar, misterius, menakutkan.
Kata ins juga merupakan lawan dari nufur ( النفور ), yakni lari menjauh.
Bagian dari seekor hewan yang menjadi tempat paling mudah ditunggangi,
yakni punggung, disebut dengan insiyyu ( إنسي ); demikian pula bagian
belakang busur yang menghadap ke pemanah.
Syeikh Raghib al-Ashfahani mengatakan
bahwa manusia disebut dengan ins karena mereka tidak bisa hidup tanpa
saling akrab dan membantu satu sama lain; atau karena manusia cenderung
akrab dengan segala sesuatu yang biasa dilakukannya. Jadi, istilah ins
ini merujuk kepada karakter umum jenis manusia yang saling membantu,
akrab, dan ramah. Manusia sebagai ins adalah “makhluk sosial” yang
cenderung tinggal di keramaian, membentuk keluarga dan kelompok,
bekerjasama, dst. Inilah fitrah manusia yang telah Allah tanamkan,
berkebalikan dengan bangsa jin yang suka tempat-tempat sunyi,
penyendiri, dan cenderung jahat. Jika kita membandingkan sifat-sifat
alami manusia dengan sifat-sifat asasi jin – misalnya, yang dijelaskan
Al-Qur’an dalam surah al-Jinn – maka kita akan memahami seberapa besar
perbedaan diantara kedua makhluk ini, meskipun ada titik-titik persamaan
diantara mereka.
Ketiga, insan ( الإنسان ). Analisis yang
dilakukan Bintu Syathi’ terhadap penggunaan istilah ini di 65 tempat
dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa – secara bahasa – insan memang
memiliki akar yang sama dengan ins, namun apa yang ditunjuk olehnya
bukan lagi karakter umum seperti sudah disebutkan diatas. Dalam
Al-Qur’an, kata insan selalu bermakna kenaikan menuju tingkatan yang
membuatnya cakap menjadi khalifah di muka bumi, serta sanggup memikul
konsekuensi taklif dan amanah kemanusiaan. Sebab, ia telah diistimewakan
dengan ilmu, bayan, akal, dan tamyiz (kemampuan memilah).
Kenyataan ini disertai dengan aneka
rintangan yang pasti menghadangnya berupa ujian baik maupun buruk,
fitnah lalai karena merasa kuat dan mampu, ditambah perasaan sebagai
makhluk yang menempati posisi tertinggi di alam semesta sehingga bisa
menyeretnya menuju kesombongan dan ujub. Perasaan inilah yang seringkali
menjerumuskan manusia (insan) dan membuatnya lupa bahwa ia pada
dasarnya makhluk yang lemah, yang sedang menempuh kehidupan dunia dari
alam tak dikenal menuju alam gaib. Dengan kata lain, ketika disebut
sebagai insan, maka yang dimaksud adalah kualitas-kualitas spesifik dan
istimewa dalam diri manusia yang membuatnya layak menerima kekhilafahan,
taklif, dan dilebihkan diatas malaikat.
Pendeknya, manusia sebagai insan adalah
makhluk yang secara sengaja didesain untuk mencicipi pahala dan siksa,
karena telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menanggung taklif.
Keempat, naas ( الناس ). Dijelaskan dalam
Lisanul ‘Arab, bahwa kata ini berasal dari nawasa ( نوس ), artinya
bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, bimbang. Aslinya adalah anas (
أناس ), lalu diringankan menjadi naas ( الناس ). Di dalam Al-Qur’an,
istilah naas biasanya disebut secara tersendiri, atau menjadi kebalikan
dari jinnah (bangsa jin), misalnya dalam surah an-Naas.
Salah seorang raja Yaman ada yang digelari
Dzu Nuwas, karena memiliki dua kepang / kuncir rambut yang
bergerak-gerak di pundaknya, atau di punggungnya. Ranting pohon yang
kecil dan mudah bergerak ditiup angin disebut dengan yanus ( ينوس ), dan
bangsa Arab menyebut seseorang yang tidak bisa tenang / diam sebagai
nawwas ( نواس ). Banyak istilah-istilah lain yang berakar dari sini dan
seluruhnya mengandung makna tidak tetap atau terus bergerak, seperti
nuwwas (sesuatu yang digantung di langit-langit), nuwas (bekas jaring
laba-laba yang telah lama ditinggalkan), nuwasi (setandan anggur yang
panjang), dll.
Menurut Bintu Syathi’, kata naas muncul
sekitar 240 kali dalam Al-Qur’an, dan biasanya dipakai untuk menyebut
spesies makhluk bernama “manusia” secara umum. Tampaknya, ketika manusia
disebut dengan naas, yang ditunjuk adalah kecenderungan mereka untuk
terus berubah, bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, atau
berkembang dan dinamis. Mungkin, ini pula yang menjadi rahasia mengapa
istilah naas diperlawankan dengan jinnah, sebab bangsa jin cenderung
statis dan tidak berkembang kehidupannya. Wallahu a’lam.
Kelima, anam ( الأنام ). Menurut az-Zabidi
dalam Tajul ‘Arus, bentuk dasarnya adalah anama ( أنم ), dan ada yang
menyatakan pula bahwa aslinya adalah wanama ( ونم ), menjadi wanam (
ونام ), lalu diringankan menjadi anam ( أنام ), artinya: mengeluarkan
suara dari dalam dirinya sendiri. Bangsa Arab menggunakan istilah ini
untuk menunjuk semua makhluk yang ada di permukaan bumi, termasuk
manusia. Di dalam Al-Qur’an, kata ini muncul sekali dalam surah
ar-Rahman: 10, dan menurut para mufassir berarti bangsa jin ( الجن ) dan
manusia ( الإنس ) sekaligus. Jadi, istilah ini sesungguhnya tidak
spesifik menunjuk pada manusia saja.
Singkatnya, Al-Qur’an berusaha menjelaskan
kepada kita misteri dan hakikat diri kita sendiri dengan menggambarkan
sifat-sifat asasi yang sudah Allah tanamkan. Dapat kita mengerti dari
sini bahwa manusia adalah makhluk yang secara fisik berbeda tampilannya
dengan hewan pada umumnya, dan ia bisa berbicara atau mengeluarkan suara
dari dalam dirinya sendiri. Sedangkan menurut fitrahnya, manusia
digambarkan cenderung bersifat ramah, akrab, saling menolong, dinamis,
terus bergerak, dan selalu memperbaiki diri, yang mana kualitas-kualitas
inilah yang memungkinkan mereka untuk dibekali ilmu, bayan, akal, dan
tamyiz yang membuat mereka cakap mengemban kekhilafahan, taklif, dan
amanah-amanah lainnya di muka bumi.
Wallahu 'Alam
Sumber: http://malialbais.blogspot.com/