tag:blogger.com,1999:blog-84415203051781835572024-03-13T11:53:05.127+07:00TUNTUNAN MUSLIMTuntunan Bagi Setiap Muslim Untuk Menggapai Kebahagiaan di Dunia dan AkhiratAbu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comBlogger44125tag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-85980537083948830662015-09-15T22:15:00.001+07:002015-09-15T22:17:07.516+07:00Benarkah Puasa Tanggal 9 Dzulhijjah Harus Mengacu Kepada Wuquf di Arafah? <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-family: verdana; font-size: small;">Memang ada sebagian orang yang
berpandangan bahwa ada korelasi kuat dan mengikat antara puasa tanggal 9
Dzulhijjah dengan peristiwa wuquf di Padang Arafah. Seolah-olah puasa
sunnah itu harus mengacu kepada kejadian wuquf. Lalu puasa itu harus
mengikuti wuqufnya. Kalau wuquf hari Rabu di Arafah, maka orang sedunia
harus ikut jadwal itu dengan berpuasa pada hari Rabu. Sebaliknya bila di
Arafah wuquf hari Selasa misalnya, maka umat Islam sedunia harus
berpuasa di hari Selasa.</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: verdana; font-size: small;">Padahal kalau kita rujuk kepada
bagaimana proses pensyariatan puasa tanggal 9 Dzulhijjah dan wuquf di
Arafah, sesungguhnya kita akan menemukan faktwa bahwa antara kedua jenis
ibadah itu sama sekali tidak ada kaitannya. Kita tidak menemukan dalil
yang mewajibkan puasa dengan cara ikut orang wuquf atau sebaliknya.
Karena kedua jenis ibadah itu disyariatkan secara terpisah dan
sendiri-sendiri.<br /><br />Puasa sunnah pada tanggal 9 Dzulhijjah itu sudah
disyariatkan jauh sebelum Nabi SAW berhaji dan melaksanakan wuquf.
Puasa itu menurut banyak riwayat telah mulai disyariatkan sejak tahun
kedua hijriyah. Di tahun itu ada beberapa jenis ibadah yang berbarengan
disyariatkan, seperti puasa bulan Ramadhan, Shalat Idul Fithr dan Idul
Adha serta puasa tanggal 9 Dzulhijjah.<br /><br />Sedangkan wuquf yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW belum disyariatkan di masa itu. Sebab Nabi
SAW dalam posisinya sebagai pembawa wahyu dari langit baru berhaji di
tahun kesepuluh hijriyah. Ada rentang waktu kurang lebih sembilan tahun
lamanya. Artinya ketika di tahun-tahun kedua, ketiga hingga kesembilan
Dzulhijah, Rasulullah SAW dan para shahabat melaksanakan puasa sunnah,
pada saat itu di Arafah tidak ada jamaah haji yang wuquf. Arafah saat
itu kosong tidak ada ritual haji.<br /><br />Kalau puasa sunnah tanggal 9
Dzulhijjah harus mengacu kepada acara ritual wuquf di Arafah, maka
seharusnya Nabi SAW dan para shahabat tidak perlu berpuasa sunnah
tanggal 9 Dzulhijjah.<br /><br />Memang benar bahwa bangsa Arab sejak masa
Nabi Ibrahim alaihissalam masih menjalankan ibadah haji. Dan salah satu
ritualnya adalah wuquf di Arafah. Namun penting sekali untuk dicatat
disini bahwa bangsa Arab sebelum Rasulullah SAW melaksanakan haji
tidaklah berhaji di bulan Dzulhijjah. Mereka terbiasa mengubah dan
mengotak-atik jadwal ritual haji tiap tahunnya. Kadang haji mereka
selenggarakan di bulan Dzulqa'dah, kadang di bulan Syawwal dan
seringkali di bulan-bulan lainnya. <br /><br />Dan karena itulah maka Allah
SWT menyalahkan bangsa Arab yang suka menggonta-ganti jadwal ibadah haji
tiap tahun. Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman :<br /><br />
</span><br />
<div style="text-align: right;">
<b><span style="font-family: verdana; font-size: x-large;"><span style="font-family: Traditional Arabic;">إِنَّمَا
النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ
كَفَرُواْ يُحِلِّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا
لِّيُوَاطِؤُواْ عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّهُ فَيُحِلُّواْ مَا
حَرَّمَ اللّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللّهُ لاَ
يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ</span></span></b></div>
<span style="font-family: verdana; font-size: small;">
<span style="font-style: italic;">Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan
haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir
dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun
dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat
mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka
menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka
memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. At-Taubah : 37)</span>Ketika menafsirkan ayat ini, <span style="font-weight: bold;">Al-Imam Al-Qurtubi</span> (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya <span style="font-style: italic;">Al-Jami' li Ahkam Al-Quran</span> menukilkan komentar dari mufassir besar yaitu Mujahid sebagai berikut :<br /><br />
<div style="text-align: right;">
<b><span style="font-size: large;">كان المشركون يحجون في كل
شهر عامين، فحجوا في ذي الحجة عامين، ثم حجوا في المحرم عامين، ثم حجوا في
صفر عامين، وكذلك في الشهور كلها حتى وافقت حجة أبي بكر التي حجها قبل حجة
الوداع ذا القعدة من السنة التاسعة. ثم حج النبي صلى الله عليه وسلم في
العام المقبل حجة الوداع فوافقت ذا الحجة، فذلك قوله في خطبته: (إن الزمان
قد استدار</span></b>) </div>
<br /><span style="font-style: italic;">Orang-orang musyrik terbiasa
melaksanakan haji untuk tiap bulan dua tahun dua tahun. Haji di bulan
Dzulhijjah dua tahun, lalu haji di bulan Muharram dua tahun, kemudian
haji di bulan Shafar dua tahun, dan begitulah seterusnya, sehingga haji
yang dilakukan Abu Bakar sebleum haji Wada' jatuh pada bulan Dzul-Qa'dah
di tahun kesembilan hijriyah. Tahun depannya, Nabi SAW berhaji jatuh di
bulan Dzulhijjah. Disitulah beliau SAW bersabda,"Zaman telah berputar"</span>. [1]<br /><br />Dari
tafsir ini kita mendapat kesimpulan penting bahwa ternyata bangsa Arab
jahiliyah meskipun berhaji dan wuquf di Arafah juga, namun jadwalnya
bukan di bulan Dzulhijjah, dan tentunya tanggalnya pun juga bukan
tanggal sembilan.<br /><br />Dengan demikian, ketika kita beranggapan bahwa
puasa tanggal 9 Dzulhijjah itu harus dikaitkan dengan wuquf di Arafah,
sebenarnya tidak punya dasar sama sekali, karena bertentangan dengan
realitas pensyariatannya di masa kenabian. Intinya adalah :
<ol>
<li>Puasa tanggal 9 Dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun kedua
setelah hijrah dan dilakukan oleh Nabi SAW beserta para shahabat setiap
tahunnya.</li>
<li>Tetapi sepanjang 22 tahun selama masa kenabian, puasa pada
tanggal 9 Dzulhijjah tidak pernah berbarengan dengan wuquf di Arafah.
Karena syariat haji baru dijalankan oleh beliau SAW dan para shahabat di
tahun kesepuluh dari hijrah atau setelah 22 tahun sejak kenabian.</li>
<li>Kalau pun orang Arab jahiliyah tiap tahun menyelenggarakan haji,
ternyata jadwalnya bukan pada bulan Dzulhijjah. Sehingga pada tanggal 9
Dzulhijjah itu tetap saja tidak ada acara wuquf.</li>
<li>Kalau hari ini puasa tanggal 9 Dzhulhijjah harus diseusaikan
jadwalnya dengan wuquf di Arafah, berarti justru bertentangan dengan
realitas puasa di masa Nabi SAW. </li>
</ol>
<span style="font-style: italic;">Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,</span><span style="font-weight: bold;"><br />Ahmad Sarwat, Lc., MA </span><br />[1] Al-Imam Al-Qurtubi, Al-Jami' li Ahkam Al-Quran jilid 8 hal. 137</span></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-26390372161348035322015-09-08T22:14:00.000+07:002015-09-08T22:16:24.086+07:00Kirim Pahala al-Fatihah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;"><b><span style="font-family: Trajan Pro;">Bertanyalah Dalil Kirim Pahala al-Fatihah Kepada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)</span></b></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: verdana; font-size: xx-small;">By : Hanif Luthfi, Lc </span></div>
<h2>
Sampai atau Tidak Sampai, Bukan Boleh atau Tidak Boleh</h2>
Memang ada juga yang nyinyir, ketika membahas sampai tidaknya pahala
bacaan al-Qur’an perspektif Imam Syafi’i. Dengan menyebutkan; <i>“katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”</i><br />
Agak susah sebenarnya melacak langsung pernyataan Imam as-Syafi’i
(w. 204 H) ini. Biasanya kebanyakan mengambil dari pernyataan Imam
an-Nawawi (w. 676 H), bahwa yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i adalah
tidak sampai.<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;"></span></div>
<a name='more'></a><span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة أنه لا يصل</span><br />
<i>Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i dan beberapa jamaah adalah tidak sampai (Pahala bacaan al-Qur’an) </i>(Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, <i>al-Adzkar</i>, h. 278)<br />
Ada beberapa catatan terkait pernyataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H),
yang sering dinukil oleh mereka yang menyatakan tidak sampai ini.<br />
Pertama, pernyataan dari Imam as-Syafi’i ini susah dilacak, kalaupun
ada ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab as-Syafi’i.<br />
Terlebih ini adalah pernyataan yang sepotong. Apakah dalam semua
keadaan, bacaan al-Qur’an kepada mayyit itu tidak sampai, atau ada
syarat khusus dan kriteria tertentu agar bisa bermanfaat kepada mayyit.<br />
Karena Imam as-Syafi’i (w. 204 H) pernah juga menyatakan:<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">قال الشافعي رحمه الله: ويستحب أن يقرأ عنده شيء من القرآن، وإن ختموا القرآن عنده كان حسنا</span></div>
<i>Imam as-Syafi’i (w. 204 H) mengatakan: Disunnahkan membaca
al-Qur’an kepada mayit yang telah di kubur. Jika sampai khatam
al-Qur’an, maka itu lebih baik. </i>(Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, <i>Riyadh as-Shalihin</i>, h. 295)<br />
Ada hal menarik disini. Jika dikatakan menurut Imam as-Syafi’i (w.
204 H) muthlak tidak sampai dalam keadaan apapun, kenapa Imam
as-Syafi’i (w. 204 H) malah menganjurkan mengkhatamkan al-Qur’an kepada
mayit setelah di kuburkan? Atau bahasa lainnya, Imam as-Syafi’i (w.
204 H) malah menganjurkan khataman al-Qur’an di kuburan.<br />
Kedua, tentu yang lebih paham tentang fiqih Syafi’i adalah para
ulama asli madzhab as-Syafi’I, bukan ulama dari non Syafi’iyyah
pastinya. Karena sangat rentan mutilasi pernyataan atau kesalahan dalam
memahami perkataan.<br />
Syaikh al-Islam Zakaria Al-Anshari as-Syafi’i (w. 926 H) dan Ibnu
Hajar Al-Haitami as-Syafi’i (w. 974 H), sebagai ulama dalam madzhab
as-Syafi’i menyimpulkan bahwa, maksud bacaan al-Quran itu tidak sampai
jika tidak diniatkan atau tidak dibacakan di hadapan si mayit. (lihat:
Syaikh al-Islam Zakaria al-Anshori w. 926 H, <i>Fath al-Wahhab</i>, h. 2/ 23, dan Ibnu Hajar Al-Haitami w. 974 H, <i>Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubro</i>, 2/ 27).<br />
Ketiga, ini yang terpenting. Memang masalah ini menjadi perbedaan
diantara para ulama sejak dahulu. Hanya saja perbedaan mereka terkait,
“Sampai atau tidak”, bukan pada “Boleh atau tidak boleh” atau “Ada
tuntunannya atau tidak” atau “Rasulullah melakukannya atau tidak”.<br />
<h2>
Mengaji Fiqih Hanbali dari Ulama Hanbali</h2>
Jika memahami fiqih Syafi’i harusnya dari ulama Syafi’iyyah, tentu hal yang sama juga dalam memahami fiqih Hanbali.<br />
Termasuk jika ada yang nyinyir mengatakan, <i>“Katanya ikut madzhab Syafi’i, tapi kenapa tak ikut Imam as-Syafi’i (w. 204 H)?”, </i>silahkan balas saja; <i>“Katanya ikut madzhab Hanbali, tapi kenapa tak ikut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)?”</i><br />
Hampir-hampir ulama Hanbali yang muktamad, semuanya menyatakan
sampainya kiriman pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit, termasuk Surat
al-Fatihah.<br />
Mana dalilnya? Kalau mau tau, silahkan tanya ulama dibawah ini:<br />
<h3>
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H): Bacalah Surat al-Fatihah Saat ke Kuburan</h3>
Abu Bakar Al-Marrudzi al-Hanbali (w. 275 H); salah seorang murid
terdekat Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) pernah mendengar sendiri Imam
Ahmad berkata:<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">قال
المروذي: سمعت أحمد يقول: إذا دخلتم المقابر فاقرءوا بفاتحة الكتاب
والمعوذتين، وقل هو الله أحد، واجعلوا ثواب ذلك إلى أهل المقابر؛ فإنه يصل
إليهم، وكانت هكذا عادة الأنصار في التردد إلى موتاهم؛ يقرءون القرآن.</span></div>
<i>Saya (al-Marrudzi) pernah mendengar Imam Ahmad bin Hanbal
berkata: Jika kalian masuk ke kuburan, maka bacalah Surat al-Fatihah,
al-Muawwidzatain dan al-Ikhlas. Lantas jadikanlah pahala bacaan itu
untuk ahli kubur, maka hal itu akan sampai ke mereka. Dan inilah
kebiasaan kaum Anshar ketika datang ke orang-orang yang telah wafat,
mereka membaca al-Qur’an. </i>(Mushtafa bin Saad al-Hanbali w. 1243 H, <i>Mathalib Ulin Nuha</i>, h. / 935).<br />
Disini ada 2 hal penting: Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).<br />
Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang,
bahkan ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).<br />
Hal itu bisa kita temukan di kitab <i>Mathalib Ulin Nuha</i>,
karangan Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama
madzhab Hanbali kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus
sejak tahun 1212 H sampai wafat. Kitab <i>Mathalib Ulin Nuha</i> itu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab <i>Ghayat al-Muntaha</i> karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, <i>al-A’lam</i>, h. 7/ 234)<br />
Kitab <i>Ghayat al-Muntaha</i> karya Syeikh Mar’i bin Yusuf (w. 1033 H) ini juga banyak mengambil dari 2 kitab ulama Hanbali sebelumnya; <i>al-Iqna’ li Thalib al-Intiqa’</i> karya Musa bin Ahmad Abu an-Naja al-Hajawi (w. 968 H) dan <i>Muntaha al-Iradat</i> karya Taqiyuddin Ibn an-Najjar al-Futuhi (w. 972 H). Artinya Kitab <i>Mathalib Ulin Nuha</i> diatas, secara sanad keilmuan fiqih Hanbali, bisa dipertanggungjawabkan silsilah sanadnya.<br />
<h3>
<b>Syaikh </b><b>al-</b><b>Islam Ibnu Taimiyah</b><b> (w. 728 H): Yang Benar Adalah Semua Pahalanya Sampai, Bahkan Termasuk Shalat</b></h3>
Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) memang disatu sisi menjadi
panutan utama beberapa kalangan yang membid’ahkan pengiriman pahala
bacaan al-Qur’an.<br />
Hanya dalam kaitan pengiriman pahala bacaan al-Qur’an ini, Fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) tak begitu dihiraukan.<br />
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata di dalam kitab <i>Majmu’ Al-Fatawa</i> juz 24 halaman 367 :<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">وأما
القراءة والصدقة وغيرهما من أعمال البر فلا نزاع بين علماء السنة
والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية كالصدقة والعتق كما يصل إليه أيضا
الدعاء والاستغفار والصلاة عليه صلاة الجنازة والدعاء عند قبره. وتنازعوا
في وصول الأعمال البدنية: كالصوم والصلاة والقراءة. والصواب أن الجميع
يصل إليه</span></div>
<i>Adapun bacaan Al-Quran, shodaqoh dan ibadah lainnya termasuk
perbuatan yang baik dan tidak ada pertentangan dikalangan ulama ahli
sunnah wal jamaah bahwa sampainya pahala ibadah maliyah seperti
shodaqoh dan membebaskan budak. Begitu juga dengan doa, istighfar,
sholat dan doa di kuburan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat
tentang sampai atau tidaknya pahala ibadah badaniyah seperti puasa,
sholat dan bacaan. Pendapat yang benar adalah semua amal ibadah itu
sampai kepada mayit.</i><br />
Serunya dalam fatwa Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ini, beliau menyebut
bahwa baik puasa, bacaan al-Qur’an bahkan shalat sekalipun itu akan
sampai transferan pahalanya kepada mayyit.<br />
Lah, kira-kira bagaimana teknisnya mengirim pahala shalat kepada
mayyit, menurut fatwa Ibnu Taimiyyah ini ya? Kirim pahala shalat untuk
mayyit, bid’ah apa lagi ini?<br />
<h3>
<b>Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. </b><b>751</b><b> H): </b><b>Perkataan Bahwa Tak Ada Tuntunannya Dari Ulama Salaf, Itu Adalah Perkataan Dari Orang Yang Tak Ada Ilmunya</b></h3>
Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah (w. 751 H) sebagai murid Ibnu Taimiyyah (w.
728 H) bahkan menjelaskan panjang lebar masalah ini. So, jika ingin
tahu dalilnya, baca saja kitab <i>ar-Ruh. </i>Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) menyebut:<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">وأي
فرق بين وصول ثواب الصوم الذي هو مجرد نية وإمساك بين وصول ثواب القراءة
والذكر، والقائل أن أحدا من السلف لم يفعل ذلك قائل مالا علم له به</span></div>
<i>Apa bedanya sampainya pahala puasa dengan bacaan al-Qur’an dan
dzikir. Orang yang mengatakan bahwa ulama salaf (bukan salafi) tak
pernah melakukan hal itu, berarti orang itu tak ada ilmunya </i>(Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, <i>ar-Ruh</i>, h. 143)<br />
Agak pedas memang pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H)
ini. Kata beliau, justru para salaf-lah yang melakukan hal itu. Mereka
yang mengatakan para salaf tak pernah melakukannya, berarti perkataan
itu muncul dari orang yang tak ada ilmunya.<br />
<h3>
Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H): Kaum Muslimin di Tiap Waktu
dan Tempat, Mereka Berkumpul Untuk Menghadiahkan Bacaan al-Qur’an Untuk
Mayit</h3>
Ulama Hanbali yang lebih senior dari Ibnu Taimiyyah al-Hanbali (w. 728 H) adalah Ibnu Quddamah al-Hanbali (w. 620 H).<br />
Dengan jelas beliau menyebut bahwa, di tiap waktu dan di seluruh
penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca al-Qur’an. Lantas
pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada orang yang telah
wafat, tanpa ada yang mengingkarinya. Dan itu adalah ijma’ kaum
muslimin.<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير</span></div>
<i>Ijma’ kaum muslimin menyatakan bahwa di tiap waktu dan di
seluruh penjuru negeri, kaum muslimin berkumpul untuk membaca
al-Qur’an. Lantas pahala bacaan al-Qur’an itu mereka hadiahkan kepada
orang yang telah wafat, tanpa ada yang mengingkarinya.</i> (Ibnu Quddamah al-Hanbali w. 620 H, <i>al-Mughni</i>, h. 2/ 423)<br />
Tentu pernyataan yang serius jika hal ini telah menjadi ijma’ kaum
muslimin, dimana hampir semua zaman dan setiap tempat, para kaum
muslimin melaksanakannya.<br />
Bahkan lebih dari itu, mereka melakukannya dengan berkumpul
berjamaah, bareng-bareng membaca al-Qur’an untuk dikirimkan kepada
mayyit, persis seperti yang ada di negeri kita Indonesia ini.<br />
Paling tidak, itulah yang dialami oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w.
620 H) dan kaum muslimin di Damaskus, sekitar 8 abad yang lalu di
hampir seantero negeri saat itu.<br />
<h3>
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)</h3>
Dalam hal ini, Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H) lebih memilih bahwa bacaan al-Quran itu sampai dan boleh.<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-family: Traditional Arabic; font-size: medium;">القول
الثاني: أنه ينتفع بذلك وأنه يجوز للإنسان أن يقرأ القرآن بنية أنه لفلان
أو فلانة من المسلمين، سواء كان قريبا أو غير قريب. والراجح: القول
الثاني لأنه ورد في جنس العبادات جواز صرفها للميت</span></div>
<i>Pendapat kedua, adalah mayyit bisa mendapat manfaat dari apa
yang dikerjakan orang yang masih hidup. Hukumnya boleh, orang membaca
al-Quran lantas berkata; “Saya niatkan pahala ini untuk fulan atau
fulanah. Baik orang itu kerabat atau bukan. Ini adalah pendapat yang
rajih. </i>(Muhammad bin Shalih al-Utsaimin w. 1421 H, <i>Majmu’ Fatawa wa Rasail</i>, h. 7/ 159)<br />
<h2>
Mari Ittiba’ Rasul!</h2>
Pernyataan ini benar, tapi tak jarang disalahgunakan. Suatu amalan
yang pernah dikerjakan Nabi atau belum pernah itu, bukan standar
satu-satunya sebuah amalan dikatakan boleh atau tidak boleh.<br />
Justru kesalahan logika yang fatal, jika membuat sebuah kaidah ushul
fiqih baru bahwa, amalan yang tak pernah dijalankan Nabi pasti
semuanya bid’ah yang haram.<br />
Tentu jika orang awam yang ditanya, “Memang Nabi pernah melakukannya?” pasti akan <i>melongo,</i>
tak bisa jawab. Seolah dalil satu-satunya adalah ‘pernah dijalankan
Nabi’. Padahal ada hal yang penting untuk dibahas terlebih dahulu, yaitu
mendefiniskan apa itu dalil, berikut kriteria dan macam-macam dalil
itu.<br />
Kembali kepada judul tulisan, jika ingin tahu dalil sampai dan
bolehnya bacaan al-Quran kepada orang yang telah wafat, silahkan digali
dari ulama diatas.<br />
Jika menganggap bahwa perbuatan menghadiahkan pahala bacaan
al-Qur’an itu bid’ah, itu sama artinya menganggap Imam Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H) beserta ulama hanbali lainnya menganjurkan kebid’ahan.<br />
Jika menganggap ulama salaf tak pernah menghadiahkan pahala bacaan
al-Quran, sepertinya harus sekali-kali piknik ke kitabnya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (w. 751 H).<br />
Jika menanggap bahwa berkumpul untuk bersama-sama membaca al-Qur’an,
lalu pahalanya dikirimkan kepada mayyit hanya budaya Nusantara yang
diwarisi dari Agama Hindu, sepertinya harus piknik ke kitabnya Ibnu
Quddamah (w. 620 H).<br />
Yuk kita piknik ke luasnya samudra ilmu para ulama! Dari situ kita ittiba' Rasulullah <span style="font-style: italic;">shallaAllahu alaihi wa sallam.</span><br />
<span style="font-style: italic;">Wallahua'lam bisshawab</span>.<br />
<br />
<span style="font-size: x-small;">Sumber: <a href="http://www.rumahfiqih.com/fikrah/x.php?id=374&=bertanyalah-dalil-kirim-pahala-al-fatihah-kepada-imam-ahmad-bin-hanbal-%28w-241-h%29.htm" target="_blank">www.rumahfiqih.com </a></span></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-40581551349232483322014-10-06T12:05:00.002+07:002014-10-06T12:05:50.159+07:00Bid'ahkan Mengadzankan Bayi ?
<span style="font-family: verdana; font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh, </span><br />Ustadz,
bagaimana sebenarnya hukum mengumandangkan adzan dan iqamah bagi bayi
yang baru lahir? Benarkah tidak ada dasar tuntunannya yang sahih? Dan
apakah kita boleh belajar agama Islam lewat mesin pencari Google?<br /><br />Demikian, terima kasih atas pencerahannya <br /><br /><span style="font-style: italic;">Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh</span></span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: small;">
</span><br />
<table border="0" cellpadding="2" cellspacing="5" style="font-family: verdana; width: 100%px;"><tbody>
<tr>
<td><h3>
<span style="font-size: small;">Jawaban :<a name='more'></a></span></h3>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,</span></span><br />
<span style="font-size: small;">
Masalah adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, ada
sebagian yang memandangnya mustahab dan sunnah, dimana sebenarnya cukup
banyak ulama yang berpendapat sunnahnya adzan di telinga bayi. Karena
urusan shahih tidaknya hadits adalah masalah yang masih diperdebatkan di
antara para ahli hadits sendiri.<br /><br />Namun tidak bisa dipungkiri ada
juga tidak mau mengadzani bayi yang baru lahir, dengan beberapa alasan.
Yang paling masuk akal karena dianggapnya tidak ada hadits shahih bisa
dijadikan dasar. Sekilas pandangan ini bisa diterima, walaupun kalau
kita kaji lebih dalam, sebenarnya pendapat ini masih kurang lengkap dan
terburu-buru mengambil kesimpulan. Setidaknya para ulama masih berbeda
pendapat atas hukumnya. <br /><br />Selain itu juga ada alasan yang tidak
bisa diterima syariah, yaitu pandangan yang sampai kepada vonis bahwa
mengadzani bayi itu haram dan bid'ah, dengan alasan bahwa adzan itu
hanya untuk memanggil orang shalat. <br /><br />Kenapa pandangan yang seperti itu tidak bisa diterima syariah?<br /><br />Karena
ternyata sebagian ulama, khususnya para ulama dalam mazhab
Asy-Syafi’iyah memandang bahwa selain berfungsi untuk memanggil
orang-orang untuk shalat berjamaah, adzan juga boleh dikumandangkan
dalam konteks di luar shalat.
</span><span style="font-size: small;">Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama ahli fiqih kontemporer abad 20 menuliskan dalam kitabnya <em>Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu</em>
bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada
beberapa even kejadian lainnya. Dan salah satunya adalah untuk mengadzan
bayi yang baru lahir. <a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn1" name="_ftnref1" title="">[1]</a></span><br />
<h4>
<span style="font-size: small;">Bukankah Hadits Adzan Bayi Itu Tidak Shahih?</span></h4>
<span style="font-size: small;">Kalau kita belajar syariat Islam lewat kaidah yang benar, khususnya
lewat ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih, sekedar ada klaim bahwa sebuah
hadits itu tidak shahih, sebenarnya tidak cukup untuk menarik kesimpulan
bahwa sebuah perbuatan itu bid'ah. Mengapa?</span><br />
<span style="font-size: small;">Banyak orang kurang mengerti bahwa shahih tidaknya suatu hadits itu
sendiri cuma hasil 'rekayasa' manusia biasa. Keshahihan suatu hadits itu
bukan wahyu, sama sekali bukan datang dari Nabi Muhammad SAW. Beliau
SAW tidak pernah menetapkan suatu hadits itu shahih atau tidak shahih.
Malaikat Jibril pun tidak memberikan informasi tentang shahih tidaknya
suatu hadits.</span><br />
<span style="font-size: small;">Lalu kalau bukan dari Nabi SAW, siapa yang boleh dan berhak menentukan keshahihan suatu hadits?</span><br />
<span style="font-size: small;">
Jawabnya adalah para ahli hadits, yang dalam hal ini sering disebut
sebagai muhaddits. Mereka adalah manusia biasa yang ketika memfatwakan
suatu hadits, sama sekali tidak menggunakan wahyu melainkan semata-mata
menggunakan akal. Jadi shahih tidaknya suatu hadits semata-mata
merupakan hasil ijtihad akal semata.
</span><span style="font-size: small;">Dan salah satu buktinya ternyata keshahihan suatu hadits agak jarang
disepakati oleh para muhaddits. Yang paling sering terjadi adalah suatu
hadits dishahihkan oleh satu muhaddits, sementara ada sekian muhaddits
lain tidak menshahihkan. Begitu juga sebaliknya, satu hadits dianggap
dhaif oleh satu muhaddits, sementara di tempat lain ada puluhan
muhaddits menshahihkannya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Maka sebagai orang awam yang baru berkenalan dengan agama Islam,
wajib hukumnya mengetahui dasar-dasar ilmu hadits, agar jangan sampai
malah jadi penyesat umat Islam dengan pemahaman yang dangkal dan
menampakkan kekosongan ilmu agama.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">Ulama Syariah Sangat Mengerti Hadits</span></span><br />
<span style="font-size: small;">Kalau kita mau tahu siapakah ulama hadits yang paling tinggi derajat
keilmuannya, ternyata bukan Bukhari atau Muslim. melainkan para ulama
empat mazhab, yaitu Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam
Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal <span style="font-style: italic;">rahimahumullah</span>. </span><br />
<span style="font-size: small;">Kenapa mereka lebih tinggi derajat keilmuannya dari Bukhari dan Muslim? </span><br />
<span style="font-size: small;">
Jawabnya karena ilmu yang mereka milik bukan sebatas mengetahui apakah
suatu hadits itu shahih atau tidak. Tetapi lebih jauh dari itu, mereka
juga menyusun kaidah dan ketentuan, kapan suatu hadits bisa diterapkan
untuk satu kasus dan kapan tidak bisa diterapkan. Dan tolok ukurnya
bukan semata keshahihan, tetapi ada lusinan pertimbangan lainnya. <br /><br />Maka para fuqaha dan mujtahid itu lebih tinggi dan lebih luas ilmunya dari sekedar menjadi ulama muhaddits biasa. <br /><br /><span style="font-weight: bold;">Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi</span></span>
<span style="font-size: small;">Setidaknya ada tiga hadits yang menjadi dasar masyru'iyah dalam melantunkan adzan untuk bayi yang baru lahir.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">1. Hadits Pertama</span></span><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;">رَوَى أَبُو رَافِعٍ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ</span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah</span>. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim) </span><br />
<span style="font-size: small;">Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau
riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam
Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga. </span><br />
<span style="font-size: small;">Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab<a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn1" name="_ftnref1" title="">[1]</a>. </span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">2. Hadits Kedua</span></span><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;">مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ</span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Orang yang mendapatkan kelahiran
bayi, lalu dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri,
tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan. </span>(HR. Abu Ya’la Al-Mushili)</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;"> </span></span>
<span style="font-size: small;"><em>Ummu shibyan</em> adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil. </span><br />
<span style="font-size: small;">Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama
hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi
sendiri memang mengatakan bahwa dalam rangkaian perawinya ada kelemahan.
Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai
penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya. </span><br />
<span style="font-size: small;">Walhasil sebenarnya kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak
bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih
ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama keshahihannya. Posisi
hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja. </span><br />
<span style="font-size: small;">Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa
hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits
Adh-Dha'ifah<a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn2" name="_ftnref2" title="">[2]</a> maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil. <a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn3" name="_ftnref3" title="">[3]</a></span><br />
<span style="font-size: small;">Dan hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">3. Hadits Ketiga </span></span><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;">عَنِ ابْنِ عَباَّسٍ أَنَّ النَّبِيَّ أَذَّنَ فيِ أُذُنِ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ وَأَقَامَ فيِ أُذُنِهِ اليُسْرَى</span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu
bahwa Nabi SAW melantunkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika
dilahirkan, dan melantunkan iqamah di telinga kirinya.</span> (HR. Al-Baihaqi)</span><br />
<span style="font-size: small;">Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri
berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan
mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar
hukum atau tidak.</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">Pendapat Yang Mendukung Adzan di Telinga Bayi</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">1. Ulama Mazhab Empat</span><br /><br />Umumnya
para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan
adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat
dikumandangkan pada telinga kirinya.</span>
<span style="font-size: small;">Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya,
meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab
Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab
fiqih mereka, tanpa menekankannya. </span><br />
<span style="font-size: small;">Namun mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara resmi dan mengatakan
bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada sebagian ulama
dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga.<a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn7" name="_ftnref7" title="">[7]</a></span><br />
<span style="font-size: small;">
2<span style="font-weight: bold;">. Pendapat Umar bin Abdul Aziz</span><span style="font-weight: bold;"> </span></span>
<span style="font-size: small;">Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa Umar bin Abdul
Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengadzaninya pada
telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri.<a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn4" name="_ftnref4" title="">[4]</a></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">3. Pendapat Ibnu Qudamah</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;"> </span></span>
<span style="font-size: small;">Ibnu Qudamah sebagai salah satu icon ulama mazhab Al-Hanabilah
menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal,
Al-Mughni. </span><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;">قال بعض أهل العلم: يستحب للوالد أن يؤذن في أذن ابنه حين يولد</span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Sebagian ahli ilmu berpendapat
hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan
adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan</span>. <a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn5" name="_ftnref5" title="">[5]</a></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">4. Pendapat Ibnul Qayyim</span></span> <br />
<span style="font-size: small;">Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan dalam kitabnya, <em>Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud</em>,
bahwa adzan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang
pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang
membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang
masuk Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat
syahadat.<a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn6" name="_ftnref6" title="">[6]</a></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz </span></span>
<span style="font-size: small;">Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang
mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga kiri,
beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :</span><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;">هذا مشروع عند جمع من أهل العلم وقد ورد فيه بعض الأحاديث وفي سندها مقال فإذا فعله المؤمن حسن لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات</span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Ini perbuatan masyru'
(disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar
haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang
mukmin melakukannya maka hal itu baik, karena merupakan bagian dari
pintu sunnah dan pintu tathawwu'at</span>. <a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftn8" name="_ftnref8" title="">[8]</a></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">Pendapat Yang Tidak Membolehkan</span><br />Umumnya
semua pendapat yang tidak membenarkan adzan di telinga bayi kalau kita
runut kembali kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani,
sebagaimana yang tertunang dalam kitab Silsilah dan Irwa' di atas. <br /><br />Sejatinya
beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya agak
sedikit diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini. Tentu
saja selalu ada murid-muridnya yang selalu membela gurunya dan kebetulan
beliau rajin menulis buku. <br /><br />Kebetulan pula oleh para murid dan
pembelanya, tulisan-tulisannya banyak diupload di internet dan memenuhi
mesin pencari Google. Sehingga kalau ada orang awam yang tidak mengerti
syariah mencari dengan Google, tulisan-tulisan yang membela pendapat
Al-Albani terasa lebih dominan. <br /><br /><span style="font-weight: bold;">Hati-hati Belajar Agama Islam Lewat Internet Google</span><br />Di
luar masalah perbedaan pendapat antara yang mendukung adzan dan tidak
mendukung, ada satu hal yang perlu kita perhatikan, yaitu hati-hati
belajar agama Islam lewat internet atau Google. <br /><br />Internet itu
teknologi buatan manusia, fungsinya memang luar biasa karena bisa
menyatukan begitu banyak manusia di dunia ini lewat alam maya. Dan
Google sendiri adalah sebuah 'keajaiban' di dalam dunia modern ini.
Karena apapun yang tertuang di internet, Google bisa mencarinya.
Termasuk salah satunya informasi tentang agama Islam. Banyak orang bisa
memanfaatkan mesin pencari yang satu ini untuk mendapat ilmu agama.<br /><br />Tetapi
harus pula disadari bahwa Google itu bukan ahli fiqih dan bukan ahli
hadits. Google cuma robot yang bisa mencari data di jagat alam maya,
tanpa bisa memilah mana data sampah dan mana data yang valid. <br /><br />Kalau
ada sejuta orang menulis di internet bahwa babi itu halal, dan cuma ada
sepuluh orang menulis bahwa babi itu haram, maka berdasarkan mesin
pencari Google, hukum babi itu jadi halal. Kenapa ? Karena hasilnya
lebih banyak yang bilang halal dari pada yang bilang haram. <br /><br />Google
tidak bisa membedakan mana tulisan para ulama yang ahli di bidang ilmu
syariah, dan mana tulisan orang yang awam dengan agama. Dalam beberapa
sisi, 'demokrasi' ala Google ini agak menyesatkan juga. Maka kita tidak
boleh menyerahkan agama kita secara pasrah bongkokan kepada Mbah Google.<br /><br /><span style="font-style: italic;">Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,</span><br /><span style="font-weight: bold;">Ahmad Sarwat, Lc., MA </span></span> <hr />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref1" name="_ftn1" title="">[1]</a> Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhzdzdzab, jilid 9 hal. 348</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref2" name="_ftn2" title="">[2]</a> Al-Albani, Silsilah Al-Ahadits Ad-Dha'ifah, jilid 1 hal. 320</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref3" name="_ftn3" title="">[3]</a> Al-Albani, Irwa' Al-Ghalil, jilid 4 hal. 401</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref4" name="_ftn4" title="">[4]</a> Mushannaf Abdurrazzaq, jilid 4 hal. 336</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref5" name="_ftn5" title="">[5]</a> Ibnu Qudamah, jilid 11 hal, 120</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref6" name="_ftn6" title="">[6]</a> Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hal. 22. </span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref7" name="_ftn7" title="">[7]</a> Nihayatul Muhtaj jilid 3 hal. 133</span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1410433219&=apakah-mengadzankan-bayi-bid%27ah-dan-tidak-ada-dasarnya.htm#_ftnref8" name="_ftn8" title="">[8]</a> http://www.binbaz.org.sa/mat/9646</span><br />
<table style="font-family: verdana;"><tbody>
<tr><td><span style="font-size: small;"></span></td><td><br /></td><td><br /></td><td><br /></td><td><br /></td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
</tbody></table>
Sumber: rumahfiqih.comAbu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-4993276009759205272014-10-02T21:48:00.003+07:002014-10-02T21:48:49.308+07:00Fatwa Syeikh Al-Ustaimin : Tiap Negara Puasa Arafah Sesuai Dengan Ketentuan Pemerintah Masing-masing<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-family: verdana; font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Assalamua'alaikum warahmatullahi wabarakatuh </span><br /><br />Mohon
sekali pencerahan dari ustadz tentang beda hari wuquf di Arafah tanggal
9 Dzulhijjah tahun ini. Pemerintah Saudi Arabia menetapkan wuquf jatuh
hari Jumat. Berarti hari Jumat itu tanggal 9 dimana kita yang tidak haji
disunnahkan untuk mengerjakan puasa Arafah.<br /><br />Sementara pemerintah
RI menetapkan bahwa tanggal 9 Dzulhijjah jatuh bukan hari Jumat
melainkan hari Sabtunya. Dan lebaran jadi tanggal 10 yaitu hari Ahad. <br /><br />Pertanyaan saya :</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-family: verdana; font-size: small;"><br />1.
Kita yang di Indonesia ini, harus ikut pemerintah yang manakah, ikut
pemerintah Saudi dan kita puasa hari Jumat lalu lebaran hari Sabtu?
Ataukah kita ikut pemerintah Indonesia, yaitu puasa hari Sabtu dan
lebaran hari Ahad?<br /><br />2. Mohon penjelasan dari ustadz dan juga dari para ulama lainnya.<br /><br />Terima kasih.<br /><span style="font-style: italic;"><br />Wassalam</span></span><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: small;">
</span><br />
<table border="0" cellpadding="2" cellspacing="5" style="font-family: verdana; width: 100%px;"><tbody>
<tr></tr>
</tbody></table>
<br />
<table border="0" cellpadding="2" cellspacing="5" style="font-family: verdana; width: 100%px;"><tbody>
<tr><td><span style="font-size: small;">Jawaban :</span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, </span></span>
<br />
<span style="font-size: small;"> Sebenarnya pertanyaan antum ini sudah cukup banyak dijelaskan.
Bahkan web rumahfiqih.com ini juga berkali-kali menuliskan lewat
berbagai tulisan dan artikel. Kalau antum rajin searching, pasti ketemu
jawabannya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Namun tidak mengapa hal ini dijelaskan sekali lagi, karena waktunya
memang sudah mepet tinggal dua hari lagi. Kali ini saya tidak
menjelaskan panjang lebar, tetapi cukup mengutip saja pendapat dari para
ulama resmi dari Kerajaan Saudi Arabia.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Rasanya akan lebih pas kalau fatwa resmi ulama Kerajaan Saudi Arabia
yang menjelaskan, dari para fatwa ulama negeri lainnya. Salah satu ulama
besar di Saudi adalah Syeikh Al-Ustaimin <span style="font-style: italic;">rahimahullah</span>. Berikut petikannya :</span><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: small;"> وكذلك لو قدر أنه تأخرت
الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم فإنهم يصومون يوم
التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة</span><br />
<span style="font-size: small;"> </span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Begitu juga bila ditetapkan hasil
rukyat negara itu tertinggal dari Mekkah, sehingga tanggal 9 di Mekkah
menjadi tanggal 8 di negara itu, maka penduduk negara itu puasanya
pada tanggal 9 menurut negara itu, walaupun itu berarti sudah tanggal
sudah tanggal 10 di Mekkah. </span><span style="font-style: italic;"> </span>(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Fatwa dari Syeikh Utsaimin ini mungkin terasa aneh buat sebagian
kita, yang sudah terlanjur ngotot ingin puasanya ikut jadwal pemerintah
Saudi Arabia. Seolah-olah ada semacam pandangan yang ambigu dari
sebagian kita. Kalau lebaran Idul Fithri kita ikut pemerintah RI, tapi
kalau lebaran Idul Adha, kita ikut Saudi.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Sebenarnya kaidah semacam ini pun agak kurang jelas asal usulnya. Sebab ketika kita menerima ada konsep <span style="font-style: italic;">ta'addud al-mathali</span>', maka berlaku untuk semua kasus tanpa harus dipisah-pisah lebaran biasa dan lebaran haji.</span><br />
<span style="font-size: small;">Namun seandainya kita ini cenderung menolak adanya sistem <span style="font-style: italic;">ta'addud al-mathali' </span>dan hanya menerima konsep <span style="font-style: italic;">wihdatul-mathali</span>, bisa saja kita puasa dan lebaran ikut pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.</span><br />
<span style="font-size: small;">Tetapi kalau mau jadi penganut 'mazhab' <span style="font-style: italic;">wihdatul-mathali', </span>seharusnya
konsekuen, tidak plintat-plitut dan juga tidak boleh ambigu. Kalau
lebaran Idul Fithri masih ikut keputusan pemerintah RI dan Idul Adha
ikut keputusan Pemerintah Saudi Arabia, namanya masih ambigu dan
plintat-plintut. Sementara dalam dunia ilmu fiqih, kita tidak mengenal
adanya mazhab talfiq, yaitu mazhab campur aduk dengan cara ikut ini
sebagian dan ikut itu sebagian. </span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Anggaplah kita berpegang tegus pada prinsip <span style="font-style: italic;">wihdatul-mathali</span>',
yaitu bila ada satu tempat di bumi ini berhasil melihat hilal, maka
seluruh dunia wajib terikat, itu pun tidak bisa dijalankan. Mengapa?</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Karena ternyata pemerintah Saudi Arabia sendiri malah berpegang kepada pendapat <span style="font-style: italic;">ta'addud al-mathali'</span> dan bukan <span style="font-style: italic;">wihdatul-mathali</span>'.
Buktinya, mereka tidak menunggu hasil rukyat dari negara lain di dunia.
Kalaupun ada negara yang mengumumkan duluan telah berhasil merukyat
hilal, pemerintah Saudi masa bodoh saja dan tidak peduli dengan hasil
rukyat negara lain itu. </span><br />
<span style="font-size: small;">Sebab prinsip yang dipegang oleh pemerintah negara Saudi Arabia,
bahwa masing-masing negara silahkan melakukan rukyat sendiri-sendiri,
dan hasilnya silahkan dipraktekkan sendiri-sendiri. Tiap negara Islam
sama sekali tidak pernah terikat dengan hasil rukyat di Saudi,
sebagaimana Saudi tidak merasa terikat dengan hasil rukyat negara lain.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Dalam bahasa gaul Jakarta, prinsipnya adalah : Lu lu gue gue. </span><br />
<span style="font-size: small;">Bahkan ini juga penting dicatat, bahwa Kerajaan Saudi Arabia
menetapkan tanggal 9-10 Dzulhijjah itu untuk wilayah negaranya sendiri.
Penetapan ini tidak berlaku buat seluruh negara di dunia. Dan wilayah
kerajaan Saudi Arabia itu sangat terbatas. </span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Dan oleh karena itulah kalau kita simpulkan fatwa Syeikh Utsaimin ini
menjadi sangat jelas, bahwa buat kita yang tinggal di Indonesia,
puasanya tidak mengikuti pengumaman dari Saudi Arabia. Maka beliau
menekankan bahwa pendapat yang inilah yang lebih rajih :</span><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: small;"> هذا هو القول الراجح لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطرو</span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;"> Inilah pendapat yang kuat. Karena
Nabi SAW bersabda,"Bila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan
apabila melihat hilal lagi (hari raya), maka berbukalah” </span>(Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">Tidak Ada Shalat Idul Adha Tanggal 11 Dzulhijjah</span></span><br />
<span style="font-size: small;">Yang perlu diluruskan lagi adalah kelakukan sebagian orang yang
ngotot meyakini lebaran haji Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, karena
tetap mau ikut pengumuman negara Saudi. Kalau sudah meyakini lebaran
hari Sabtu, kenapa hari Ahad malah ikut shalat Idul Adha? Ini berarti
adalah pelecehan atas keyakinan dan sikapnya sendiri. </span><br />
<span style="font-size: small;">Kalau dia ikut shalat hari Ahad, berarti dalam keyakinannya dia
shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Ini malah jadi agama baru yang
belum pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mana ada perintah Nabi SAW
untuk mengerjakan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah? </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">Tidak Ada Qadha Shalat Idul Adha</span></span><br />
<span style="font-size: small;">Mereka yang rada ngotot untuk shalat di hari Ahad padahal meyakini
Idul Adha itu hari Sabtu sering berdalil bahwa tidak mengapa shalat di
hari Ahad, karena itu adalah qadha' shalat. </span><br />
<span style="font-size: small;">Maka jawabannya adalah bahwa sesungguhnya para ulama sepakat bahwa
shalat Idul Adha dan begitu juga Idul Fithri tidak ada qadha'nya.
Disebutkan oleh Syeikh Al-Ustaimin : </span><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: small;"> فإذا فاتت فإنها لا تقضى إلا بدليل يدل على قضائها إذا فاتت </span></div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Bila shalat ini terlewat, maka tidak perlu diqadha', kecuali bila ada dalil yang menegaskan keharusan qadha'nya.</span></span><br />
<span style="font-size: small;">Maka saya menyebut pendapat yang seperti ini bukan wihadutl mathali',
bukan ta'addu al-mathali', tetapi pendapat SS yaitu Serba Saudi.
Sayangnya belum sampai mengikuti jadwal shalat Saudi. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">Mengadakan Shalat Id Harus Ada Izin Pemerintah</span></span><br />
<span style="font-size: small;">Kalau kita rajin buka-buka kitab fiqih, disana akan kita temukan
bahwa di antara syarat dibolehkannya menyelenggarakan shalat Idul Fithr
atau Idul Adha adalah adanya izin dari sultan, yang dalam hal ini
maksudnya adalah pemerintah yang sah. </span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Saya tidak tahu apakah pemerintah negara kita ini benar-benar memberi
izin untuk mereka yang melakukan shalat Id di luar apa yang telah
diumumpkan secara resmi oleh negara. Tetapi sepanjang yang saya tahu,
kalau hal itu terjadi di Saudi misalnya, maka tentu akan dilarang. </span><br />
<span style="font-size: small;">Misalnya pemerintah negara Saudi menetapkan lebaran hari Sabtu, kalau
sampai ada kelompok masyarakat yang ngotot dan mbalelo tidak mau tunduk
kepada ketetapan resmi pemerintah, lalu secara terang-terangan bikin
shalat Id hari Ahad, atau hari Jumat, tentu saja akan diperkarakan
karena dianggap melawan negara, sekaligus melakukan bid'ah dalam agama. </span><br />
<span style="font-size: small;">Begitu juga kalau pemerintah Saudi Arabia sudah mengumumkan wuquf
hari Jumat, maka semua penduduknya wajib ikut keputusannya. Rasanya
tidak akan ada orang yang melakukan wukuf hari Sabtu atau hari Kamis. </span><br />
<span style="font-size: small;">Sebab yang punya ketetapan adalah pemerintah setempat, yang dalam hal ini pemerintah Saudi Arabia.</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,</span><br /><span style="font-weight: bold;">Ahmad Sarwat, Lc., MA </span></span></td></tr>
</tbody></table>
Rumahfiqih.com</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-45795313310806118272013-12-23T14:53:00.004+07:002013-12-23T14:54:53.768+07:00Definisi Manusia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Al-Qur’an diturunkan sebagai rahmat dan
hidayah bagi umat manusia. Sudah barang tentu ia tidak akan lalai
menggambarkan dan menjelaskan jatidiri manusia yang sebenarnya, agar
mereka mengerti dan tidak keliru bersikap. Sungguh, kesalahan-kesalahan
terbesar yang menimpa berbagai pemikiran dan filsafat seringkali berawal
dari kesalahan definisi atau cara pandang terhadap jatidiri manusia
ini.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Definisi “manusia” sendiri telah menjadi
obyek perdebatan klasik dalam khazanah pemikiran umat manusia. Mungkin,
pertanyaan tentang “siapa aku” sudah setua kehadiran manusia itu
sendiri, dan berbagai jawaban telah begitu banyak diberikan. Terkadang,
satu sama lain saling bertentangan secara diametral dan tak
terjembatani.</span><br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pertanyaannya sekarang, bagaimana Al-Qur’an mendefinisikan “manusia”? </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sesuai dengan tradisi Islam, sebagaimana
dijelaskan sebenarnya ada dua cara untuk memformulasikan sebuah
definisi, yaitu hadd ( الحد ) dan rasm ( الرسم ). </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Yang pertama berarti spesifikasi yang
tepat atau ringkas tentang karakteristik khas dari sesuatu hal,
sedangkan yang terakhir berarti deskripsi sifat dari sesuatu hal.
Menurut beliau, perbedaan ini menunjukkan bahwa ada hal-hal yang dapat
kita definisikan secara khusus mengenai bagaimana tepatnya dan
karakteristiknya yang khas, dan ada pula hal-hal yang mana kita tidak
bisa terlalu memastikannya, namun kita hanya dapat memastikan dengan
menggambarkan sifat-sifatnya. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Walaupun sebagian pemikir muslim
merumuskan hadd manusia dalam kalimat al-hayawan an-nathiq (hewan yang
berpikir), namun – dengan melihat cara Al-Qur’an mendefinisikan manusia –
definisi ini belum mencakup keseluruhan karakternya. Dalam hal ini,
Al-Qur’an menggunakan rasm dengan menggambarkan sifat-sifat “manusia”,
salah satunya dengan memakai istilah berbeda untuk menyebut mereka,
yaitu: basy`r, ins, insan, naas, dan anam. Masing-masing istilah ini
menunjuk kepada kualitas dan entitas tertentu dalam diri mereka. Mari
kita kaji satu persatu.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pertama, basyar ( البشر ). Disebutkan
dalam Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an, bahwa istilah ini berasal dari
kata dasar basyarah ( البشرة ), artinya bagian permukaan kulit,
sedangkan adamah ( الأدمة ) adalah bagian dalamnya. Manusia disebut
dengan basyar karena kulit mereka lebih banyak terlihat di permukaan
tubuhnya dibanding rambut, berbeda dengan hewan yang umumnya lebih
banyak ditutupi bulu, rambut, dan wool. Dari kata dasar yang bermakna
“kulit” ini pula muncul istilah mubasyarah ( المباشرة ), artinya
persentuhan kulit dengan kulit secara langsung, dan bangsa Arab
memakainya sebagai kiasan dari hubungan suami istri. Kabar gembira juga
disebut dengan bisyarah ( البشارة ) dan busyra ( البشرى ), karena ketika
seseorang bergembira maka darah menyebar ke seluruh kulitnya sehingga
tampak nyata perubahannya, terutama pada wajah. Dengan demikian, ketika
manusia disebut basyar dalam bahasa Arab, yang dimaksud adalah entitas
fisik yang makan, minum, berjalan di pasar, beranak-pinak, berubah dari
kecil menjadi dewasa, dan akhirnya mati. Basyar adalah manusia secara
biologis dan fisiologis; sebagai materi di alam raya ini. Ini pula inti
gugatan kaum kafir kepada para Nabi yang dikirim kepada mereka, karena
secara fisik mereka adalah basyar, makhluk berbadan wadak seperti
umatnya. Hanya saja, mereka mendapatkan wahyu dari Allah, dan inilah
yang membuat mereka berbeda dari manusia lainnya. Kata basyar muncul 35
kali di dalam Al-Qur’an.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kedua, ins ( الإنس ). Menurut Dr. ‘Aisyah
‘Abdurrahman Bintu Syathi’ dalam Maqal Fil Insan, kata ini selalu mucul
beriringan dengan kata jinn ( الجن ) di dalam Al-Qur’an, sebagai dua
istilah yang saling berlawanan; dan jumlahnya ada 18 tempat. Secara
bahasa, ins berarti jinak, akrab, ramah, menyenangkan; dan kesan ini
berkebalikan dengan istilah jinn yang artinya “tertutup” atau
“tersembunyi”, sehingga menimbulkan kesan liar, misterius, menakutkan.
Kata ins juga merupakan lawan dari nufur ( النفور ), yakni lari menjauh.
Bagian dari seekor hewan yang menjadi tempat paling mudah ditunggangi,
yakni punggung, disebut dengan insiyyu ( إنسي ); demikian pula bagian
belakang busur yang menghadap ke pemanah. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Syeikh Raghib al-Ashfahani mengatakan
bahwa manusia disebut dengan ins karena mereka tidak bisa hidup tanpa
saling akrab dan membantu satu sama lain; atau karena manusia cenderung
akrab dengan segala sesuatu yang biasa dilakukannya. Jadi, istilah ins
ini merujuk kepada karakter umum jenis manusia yang saling membantu,
akrab, dan ramah. Manusia sebagai ins adalah “makhluk sosial” yang
cenderung tinggal di keramaian, membentuk keluarga dan kelompok,
bekerjasama, dst. Inilah fitrah manusia yang telah Allah tanamkan,
berkebalikan dengan bangsa jin yang suka tempat-tempat sunyi,
penyendiri, dan cenderung jahat. Jika kita membandingkan sifat-sifat
alami manusia dengan sifat-sifat asasi jin – misalnya, yang dijelaskan
Al-Qur’an dalam surah al-Jinn – maka kita akan memahami seberapa besar
perbedaan diantara kedua makhluk ini, meskipun ada titik-titik persamaan
diantara mereka.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Ketiga, insan ( الإنسان ). Analisis yang
dilakukan Bintu Syathi’ terhadap penggunaan istilah ini di 65 tempat
dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa – secara bahasa – insan memang
memiliki akar yang sama dengan ins, namun apa yang ditunjuk olehnya
bukan lagi karakter umum seperti sudah disebutkan diatas. Dalam
Al-Qur’an, kata insan selalu bermakna kenaikan menuju tingkatan yang
membuatnya cakap menjadi khalifah di muka bumi, serta sanggup memikul
konsekuensi taklif dan amanah kemanusiaan. Sebab, ia telah diistimewakan
dengan ilmu, bayan, akal, dan tamyiz (kemampuan memilah). </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kenyataan ini disertai dengan aneka
rintangan yang pasti menghadangnya berupa ujian baik maupun buruk,
fitnah lalai karena merasa kuat dan mampu, ditambah perasaan sebagai
makhluk yang menempati posisi tertinggi di alam semesta sehingga bisa
menyeretnya menuju kesombongan dan ujub. Perasaan inilah yang seringkali
menjerumuskan manusia (insan) dan membuatnya lupa bahwa ia pada
dasarnya makhluk yang lemah, yang sedang menempuh kehidupan dunia dari
alam tak dikenal menuju alam gaib. Dengan kata lain, ketika disebut
sebagai insan, maka yang dimaksud adalah kualitas-kualitas spesifik dan
istimewa dalam diri manusia yang membuatnya layak menerima kekhilafahan,
taklif, dan dilebihkan diatas malaikat.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Pendeknya, manusia sebagai insan adalah
makhluk yang secara sengaja didesain untuk mencicipi pahala dan siksa,
karena telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menanggung taklif.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Keempat, naas ( الناس ). Dijelaskan dalam
Lisanul ‘Arab, bahwa kata ini berasal dari nawasa ( نوس ), artinya
bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, bimbang. Aslinya adalah anas (
أناس ), lalu diringankan menjadi naas ( الناس ). Di dalam Al-Qur’an,
istilah naas biasanya disebut secara tersendiri, atau menjadi kebalikan
dari jinnah (bangsa jin), misalnya dalam surah an-Naas. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Salah seorang raja Yaman ada yang digelari
Dzu Nuwas, karena memiliki dua kepang / kuncir rambut yang
bergerak-gerak di pundaknya, atau di punggungnya. Ranting pohon yang
kecil dan mudah bergerak ditiup angin disebut dengan yanus ( ينوس ), dan
bangsa Arab menyebut seseorang yang tidak bisa tenang / diam sebagai
nawwas ( نواس ). Banyak istilah-istilah lain yang berakar dari sini dan
seluruhnya mengandung makna tidak tetap atau terus bergerak, seperti
nuwwas (sesuatu yang digantung di langit-langit), nuwas (bekas jaring
laba-laba yang telah lama ditinggalkan), nuwasi (setandan anggur yang
panjang), dll. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Menurut Bintu Syathi’, kata naas muncul
sekitar 240 kali dalam Al-Qur’an, dan biasanya dipakai untuk menyebut
spesies makhluk bernama “manusia” secara umum. Tampaknya, ketika manusia
disebut dengan naas, yang ditunjuk adalah kecenderungan mereka untuk
terus berubah, bergerak, tidak menetap pada satu keadaan, atau
berkembang dan dinamis. Mungkin, ini pula yang menjadi rahasia mengapa
istilah naas diperlawankan dengan jinnah, sebab bangsa jin cenderung
statis dan tidak berkembang kehidupannya. Wallahu a’lam.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Kelima, anam ( الأنام ). Menurut az-Zabidi
dalam Tajul ‘Arus, bentuk dasarnya adalah anama ( أنم ), dan ada yang
menyatakan pula bahwa aslinya adalah wanama ( ونم ), menjadi wanam (
ونام ), lalu diringankan menjadi anam ( أنام ), artinya: mengeluarkan
suara dari dalam dirinya sendiri. Bangsa Arab menggunakan istilah ini
untuk menunjuk semua makhluk yang ada di permukaan bumi, termasuk
manusia. Di dalam Al-Qur’an, kata ini muncul sekali dalam surah
ar-Rahman: 10, dan menurut para mufassir berarti bangsa jin ( الجن ) dan
manusia ( الإنس ) sekaligus. Jadi, istilah ini sesungguhnya tidak
spesifik menunjuk pada manusia saja.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Singkatnya, Al-Qur’an berusaha menjelaskan
kepada kita misteri dan hakikat diri kita sendiri dengan menggambarkan
sifat-sifat asasi yang sudah Allah tanamkan. Dapat kita mengerti dari
sini bahwa manusia adalah makhluk yang secara fisik berbeda tampilannya
dengan hewan pada umumnya, dan ia bisa berbicara atau mengeluarkan suara
dari dalam dirinya sendiri. Sedangkan menurut fitrahnya, manusia
digambarkan cenderung bersifat ramah, akrab, saling menolong, dinamis,
terus bergerak, dan selalu memperbaiki diri, yang mana kualitas-kualitas
inilah yang memungkinkan mereka untuk dibekali ilmu, bayan, akal, dan
tamyiz yang membuat mereka cakap mengemban kekhilafahan, taklif, dan
amanah-amanah lainnya di muka bumi. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Wallahu 'Alam </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Sumber: http://malialbais.blogspot.com/</span></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-36677006592193605392013-10-09T12:39:00.003+07:002013-10-09T12:39:29.071+07:00Mau Qurban Haram Potong Rambut dan Kuku?<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-family: verdana; font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Assalamu 'alaikum wr. wb.</span><br />Ustadz yang dirahmati Allah. Mohon pencerahan dan bagi-bagi ilmunya.<br /><br />Saya
punya pertanyaan yang selama ini bikin saya penasaran. Pernah suatu
ketika ada teman yang menasehati saya. Katanya kalau kita berniat mau
menyembelih hewan qurban, maka kita diharamkan untuk memotong rambut dan
kuku, hingga penyembelihan berlangsung?<br /><br />Mohon penjelasan dari ustadz yang menyejukkan, sebab selama ini saya tidak pernah tahu ada ketentuan seperti itu.<br /><br />Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, semoga Allah SWT membalas dengan balasan yang lebih baik.<br /><span style="font-style: italic;"><br />Wassalam</span></span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-family: verdana; font-size: small;">
</span><br />
<table border="0" cellpadding="2" cellspacing="5" style="font-family: verdana; width: 100%px;"><tbody>
<tr>
<td><h3>
<span style="font-size: small;">Jawaban :</span></h3>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;"> Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, </span></span>
<span style="font-size: small;">Memang benar bahwa di antara hal-hal yang dianjurkan bagi orang yang
berniat untuk menyembelih qurban, untuk selama beberapa waktu tidak
mencukur rambut dan memotong kukunya, hingga selesai penyembelihan. Hal
ini memang ada dasarnya, namun para ulama berbeda pendapat tentang
hukumnya. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">1. Pengertian</span></span> <br />
<span style="font-size: small;">Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan : </span><br />
<span style="font-size: small;">Yang dimaksud dengan larangan mengambil kuku dan rambut yaitu larangan memotong kuku atau membelah atau dengan cara lainnya. </span><br />
<span style="font-size: small;">Larangan menghilangkan rambut adalah menghilangkan rambut dengan cara
cukur, memotong, mencabut, membakar, mengambil dengan kapur atau dengan
cara yang lainnya. Apakah itu rambut ketiak, jenggot, rambut kemaluan,
rambut kepala dan rambut-rambut lain yang terdapat di badan. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">2. Dalil </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Dasar ketentuan bagi penyembelih hewan udhiyah untuk tidak mencukur
rambut atau memotong kuku, adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini : </span><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الحِجَّة وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ</span></span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Bila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kalian ingin berqurban, maka jagalah rambut dan kuku-kukunya</span>. (HR. Muslim) </span><br />
<span style="font-size: small;">Selain hadits di atas, juga ada hadits shahih riwayat Muslim lainnya,
yang datang dengan redaksi dan lewat jalur yang berbeda, namun
materinya masih sejalan. </span><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">إِذَا دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ بَشَرِهِ شَيْئًا</span></span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Dari Ummu Salamah Ibnuda Mukminin
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Bila telah memasuki hari
yang sepuluh dan seseorang ingin berqurban, maka janganlah dia ganggu
rambut qurbannya dan kulitnya.</span>” (HR. Muslim) </span><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ
يَذْبَحُهُ فَأَهَلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ
شَعْرِهِ، وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ</span></span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Dari Ummu Salamah Ibnuda Mukminin
radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Orang yang punya hewan
untuk disembelih (sebagai qurban), lalu datanglah hilal bulan
Dzulhijjah, hendaknya jangan mengambil dari rambut dan kukunya sedikit
pun, hingga selesai menyembelih</span>.” (HR. Abu Daud) </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">3. Perbedaan Pendapat </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Namun sebenarnya para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, apakah
hadits di atas itu menjadi dasar masyru’iyah atau tidak? Dan kalau
menjadi dasar masyru’iyah, mereka berbeda apakah hukumnya memang sunnah
atau kewajiban? </span><br />
<span style="font-size: small;">Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Al-Majmu’ bahwa
setidaknya adalah lima pendapat yang berbeda, yaitu makruh (karahah
tanzih), haram (karahah tahrim), makruh cukur rambut tapi tidak makruh
potong kuku, bukan makruh tapi khilaful aula, dan tidak makruh kecuali
bila telah masuk sepuluh hari dan berniat untuk menyembelih. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">a. Mazhab Al-Hanafiyah </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Dalam hal ini mazhab Al-Hanafiyah tegas mengatakan bahwa tidak ada
dasar kesunnahannya untuk melarang orang yang menyembelih hewan udhiyah
itu memotong rambut dan kuku. </span><br />
<span style="font-size: small;">Alasannya karena orang yang ingin menyembelih hewan qurban tidak
diharamkan untuk berpakaian biasa dan berjima’. Adapun hadits di atas,
menurut mazhab ini merupakan ketentuan bagi mereka yang berihram saja,
baik ihram karena haji atau umrah. </span><br />
<span style="font-size: small;">Sedangkan mereka yang tidak dalam keadaan berihram, tidak ada ketentuan untuk meninggalkan cukup rambut dan potong kuku. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">b. Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah menyebutkan bahwa hukumnya
sunnah, maksudnya disunnahkan untuk tidak mencukur rambut dan tidak
memotong kuku sampai selesai penyembelihan. </span><br />
<span style="font-size: small;">Asy-Syairazi dari kalangan mazhab Asy-syafi’iyah dalam matan Al-Muhazzab menyebutkan : </span><br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;"><span style="color: blue;">ولا يجب عليه ذلك لأنه ليس بمحرم فلا يحرم عليه حلق الشعر ولا تقليم الظفر</span></span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Dan hal itu bukan kewajiban, karena dia tidak dalam keadaan ihram. Maka tidak menjadi haram untuk memotong rambut dan kuku. </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Kedua mazhab ini menyimpulkan bahwa hadits Ummu Salamah di atas bukan
sebagai larangan yang bersifat haram (karahatu at-tahrim), melainkan
sebagai larangan yang bersifat makruh (karahatu at-tanzih). </span><br />
<span style="font-size: small;">Selain itu yang membuat mahzhab ini tidak mewajibkan, karena ada
hadits lain yang membolehkan atau tidak mengharamkan potong kuku dan
rambut, yaitu haditsdari Aisyah yang menguatkan bahwa larangan Nabi SAW
bukan bersifat keharaman. </span><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ
هَدْيِ رَسُولِ اللهِ ثُمَّ يُقَلِّدُهاَ بِيَدِهِ ثُمَّ يَبْعَثُ بِهَا
وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ حَتىَّ يَنْحَرَ
الهَدْيَ</span></span> </div>
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Dari Aisyah radhiyallahuanha,
beliau berkata,”Aku pernah menganyam tali kalung hewan udhiyah
Rasulullah SAW, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya dan
mengirimkannya dan beliau tidak berihram (mengharamkan sesuatu) atas
apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya</span>. (HR. Bukhari Muslim) </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">c. Mazhab Al-Hanabilah </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Sedangkan mazhab Al-Hanabilah mengatakan hukumnya wajib, maksudnya
wajib menjaga diri untuk tidak mencukur rambut dan memotong kuku. </span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-weight: bold;">4. Hikmah </span></span><br />
<span style="font-size: small;">Sebagian ulama mengatakan bahwa hikmah dari tidak mencukur rambut dan
memotong kuku adalah agar seluruh bagian tubuh itu tetap mendapatkan
kekebalan dari api neraka. Sebagian yang lain mengatakan bahwa larangan
ini dimaksudnya biar ada kemiripan dengan jamaah haji. </span><br />
<span style="font-size: small;">Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berargumentasi bahwa orang yang mau
menyembelih hewan udhiyah tidak dilarang dari melakukan jima’ atau
memakai pakaian, maka tidak ada larangan atasnya untuk bercukur maupun
memotong kuku. </span><br />
<span style="font-size: small;">Menurut hemat Penulis, wallahu a’lam, hadits di atas berlaku hanya
untuk para jamaah haji yang memang di antara larangannya adalah bercukur
dan memotong kuku. </span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-style: italic;">Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, </span><span style="font-weight: bold;"><br />Ahmad Sarwat, Lc., MA </span></span><table style="font-family: verdana;"><tbody>
<tr><td><span style="font-size: small;"><img src="http://www.rumahfiqih.com/img/logo-rfi.jpg" /></span></td><td><span style="font-size: small;"><b>Rumah<br />Fiqih<br />Indonesia</b></span></td></tr>
</tbody></table>
</td></tr>
</tbody></table>
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<br /></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-1387284214923694652013-06-09T16:53:00.001+07:002013-06-09T16:53:27.757+07:00Formula Hati - 6<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: large;"><b>Mensyukuri Berbagai Nikmat Allah</b></span><br />
<br />
Menyebut nyebut aneka nikmat Allah baik yang dhohir maupun yang batin adalah di antara sarana menuju kelapangan dan ketentraman hati.<br />
<br />Karena, mengetahui dan menyebut nyebut nikmat itu menjadi salah satu sebab yang dengan itu Allah menangkis kegelisahan dan keganduhan.<br />
<br />
<a name='more'></a><br /><br />
Seorang hamba diharuskan untuk bersyukur. Syukur adalah tingkatan yang paling tinggi dan luhur. Sampai sampai jika seorang hamba dalam keadaan derita kefakiran atau sakit sakitan ataupun cobaan lainya.<br />
Karena nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya tidak dapat dihitung hitung jika dibandingkan dengan cobaan yang menimpanya, maka cobaan itu bukanlah apa apa dibanding dengan nikmat nikmat Allah SWT.<br />
<br />
Bahkan, jika Allah menguji seorang hamba dengan suatu cobaan atau musibah, lalu ia menunaikan kewajibanya dengan bersabar, ridha dan pasrah dalam mengarungi cobaan itu, niscaya ringanlah tekanan dan beban cobaan itu.<br />
<br />
Di samping itu, perenungan seorang hamba pada balasan dan pahala dari allah di balik cobaan itu semua itu akan mengubah hal hang pahit menjadi manis.<br />
D<br />engan itu, manisnya pahala di balik cobaan itu justeru akan membuatnya melupakan pahitnya dan bersabar karenanya.</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-18330164336209306732013-06-07T21:15:00.000+07:002013-06-07T21:21:27.832+07:00Shalat Jenazah / Mayit<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Apabila ada muslim atau muslimah meninggal, maka kewajiban kita adalah: memandikan, mengkafani, menshalati dan menguburkan.<br />
<br />
Kesemua itu adalah FARDLU KIFAYAH, artinya bila di suatu daerah tidak ada seorangpun yang melakukan hal di atas, maka orang di daerah tersebut berdosa semua.<br />
Tapi jika sudah ada yang melakukanya, meski hanya seorang, maka semuanya sudah tidak berdosa.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tata cara shalat jenazah berbeda dengan shalat shalat lain. Karena tidak ada ruku', i'tidal ataupun sujud. Hanya dengan takbir 4 kalidan ditutup dengan salam.<br />
<br />
Untuk mayit laki laki, Imam berada sejajar dengan kepala si mayit, sedang untuk mayit perempuan, Imam sejajar dengan pantat si mayit.<br />
<br />
Adapun tata caranya sebagai berikut:<br />
<br />
<b>Takbir Pertama </b>atau Takbiratul Ihram, lalu membaca surat al-Fatihah dan surat.<br />
<b>Takbir Kedua</b>, lalu membaca Shalawat:<!--[if gte mso 9]><xml>
<w:WordDocument>
<w:View>Normal</w:View>
<w:Zoom>0</w:Zoom>
<w:PunctuationKerning/>
<w:ValidateAgainstSchemas/>
<w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid>
<w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent>
<w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText>
<w:Compatibility>
<w:BreakWrappedTables/>
<w:SnapToGridInCell/>
<w:WrapTextWithPunct/>
<w:UseAsianBreakRules/>
<w:DontGrowAutofit/>
</w:Compatibility>
<w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel>
</w:WordDocument>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml>
<w:LatentStyles DefLockedState="false" LatentStyleCount="156">
</w:LatentStyles>
</xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]>
<style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
</style>
<![endif]-->
<br />
<div align="right" class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;"><i><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;">اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنا</span></b></i><i><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent";">
مُحَمَّدٍ </span></b></i><span class="st"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent";">وعلى آل </span></b></span><i><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;">سَيِّدِنَا مُحَمَّد</span></b></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><i><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;">Takbir Ketiga, </span></b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;">lalu membaca do'a</span></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><i><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;"> </span></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;"><b><span class="st"><span dir="rtl">اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ <span style="font-size: large;">( لها )</span> وَارْحَمْهُ ( ها ) وَعَافِهِ <span style="font-size: large;">( <span style="font-size: large;">ها )</span></span> وَاعْفُ عَنْهُ ( <span style="font-size: large;">ها )</span> وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ ( ه<span style="font-size: large;">ا ) </span>وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ ( ها )</span></span></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><b><span class="st"><span dir="rtl">Takbir Keempat, </span></span></b><span class="st"><span dir="rtl">lalu membaca do'a </span></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: right;">
<b><span class="st"><span dir="rtl"><span class="st"><span dir="rtl">ا<span style="font-size: large;">للَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ ( ها ) وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ <span style="font-size: large;">( ها ) </span>وَاغْفِرْلَنَا وَلَهُ ( ها )</span></span></span><span style="font-size: large;"> </span></span></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span class="st"><span dir="rtl"><b>Membaca Salam</b>: <span style="font-size: small;"></span>Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh </span></span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span class="st"><span dir="rtl"> <span style="font-size: large;"> <b>(</b></span> <span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">ه</span></b><span style="font-size: small;"><b><span style="font-size: large;">ا )</span></b> <span style="font-size: small;"><u>Untuk mayit perempuan</u> </span></span></span></span></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<i><span style="font-size: small;"><b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;"> </span></b><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;"></span></span><b><span style="font-size: small;"><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-style: normal;"></span></span><span dir="RTL" lang="AR-SA" style="font-family: "Arabic Transparent"; font-size: 20.0pt; font-style: normal;"><br /></span></b></i></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-87452304176304789262013-05-28T09:43:00.000+07:002013-05-28T09:46:52.090+07:00Tata Cara Memandikan Mayat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Jika telah diyakini kematian seseorang, maka keduanya matanya dipejamkan, kedua rahangnya dirapatkan.<br />
<br />
Wajib hukumnya memandikan mayat muslim, kecuali jika ia syahid, wafat di medan perang, maka ia tidak dimandikan dan tidak dishalati, lalu ia dimakamkan dengan pakaianya.<br />
Karena Nabi SAW tidak memandikan dan tidak menshalati orang orang yang wafat (Syahid) pada perang Uhud.<br />
<br />
Adapun tata cara memandikan mayat adalah:<br />
<a name='more'></a><br />
<ol style="text-align: left;">
<li>Aurat mayit itu ditutup, kemudian ia ditinggikan tempatnya.</li>
<li>Tekan perutnya dengan perlahan agar kotoranya keluar.</li>
<li>Orang yang memandikan mayit hendaklah membalut telapak tanganya dengan sepotong kain atau sejenisnya, lalu mensucikan mayit itu dari najisnya.</li>
<li>Membasuh anggota wudhu nya sebagaimana ia wudhu untuk shalat.</li>
<li>Membasuh kepala dan janggutnya dengan air yang dicampur dengan daun bidara atau sejenisnya.</li>
<li>Membasuh bagian kananya, lalu bagian kirinya dan diulangi basuhan itu dua hingga tiga kali. Pada setiap basuhan hendaklah menekan perutnya.</li>
<li>Bila najis yang keluar, maka hendaklah ditutup dengan peralatan kedokteran.</li>
<li>Setelah itu ulangi wudhunya.</li>
<li>Bila ia belum bersih dengan basuhan tiga kali, ditambah lagi sampai lima kali hingga tujuh kali, lalu badanya dikeringkan dengan kain/handuk.</li>
<li>Hendaklah ia diberi minyak wangi pada lipatan lipatan tubuhnya dan anggita sujudnya. Dan apabila seluruh badanya diberi wewangian, maka itu lebih baik.</li>
<li>Kain kafanya diasapi dengan asap kayu kayu wangi.</li>
<li>Jika kumis dan kukunya panjang, hendaknya dipotong.</li>
<li>Jika mayit wanita, maka rambutnya diikat tiga dan diulurkan ke belakang.</li>
</ol>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-86993237487659445752013-03-21T21:31:00.003+07:002013-03-21T21:31:41.576+07:00Doa doa Harian - 6<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: large;"><b>DOA SHALAT JENAZAH</b></span><br />
<br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ
نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ
وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ
الْأَبْيَضَ مِنْ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ
وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ
وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ أَوْ مِنْ
عَذَابِ النَّارِ</span></span></span></div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: left;">
<b><span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;">Artin<span style="font-size: small;">ya:</span></span></span></span></b></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="font-size: large;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;">Ya Allah, ampunilah dia berilah rahmat kepadanya, selamatkan dia, ampunilah dan tempatkanlah dia di tempat yang mulia, luaskan ku<span style="font-size: small;">burnya, bersihkan dia dari kesala<span style="font-size: small;">han kesalahanya, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya, berilah keluarga yang lebih baik dari keluarganya, istri yang lebih baik daripada istrinya, dan masukanlah dia ke surga<span style="font-size: small;">, jagalah dia dari sik<span style="font-size: small;">sa kubur dan neraka.</span></span></span></span></span></span></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;"><span style="font-size: small;"> </span></span></span></span></span></span></span></span> </span> </span></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-14173013551637445622013-03-16T07:17:00.003+07:002013-03-16T07:17:54.208+07:00Syarat dan Rukun Shalat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<span style="font-size: large;">Syarat syarat Shalat:</span><br />
<ol style="text-align: left;">
<li><span style="font-size: small;">Islam.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Berakal.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Tamyiz ( Mampu membedakan antara baik dan buruk ).</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Tidak berhadas baik hadas kecil maupun hadas besar.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Suci dari najis.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Menutup aurat.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Tiba waktu shalat.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Menghadap Kiblat.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Niat<a name='more'></a></span></li>
</ol>
</div>
<span style="font-size: large;">Rukun Shalat:</span><br />
<ol style="text-align: left;">
<li><span style="font-size: small;">Berdiri jika mampu.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Takbiratul ihram.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Membaca surat Al-Fatihah.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ruku'.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">I'tidal setelah ruku'.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Sujud.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Bangkit dari sujud.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Ddudk antara dua sujud.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Tumakninah (tenang) pada seluruh gerakan.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Tasyahud akhir.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Duduk pada tasyahud akhir.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Bershalawat untuk Nabi Muhammad SAW.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Salam.</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Tertib / runtut pada pelaksanaan rukun rukun tersebut. </span></li>
</ol>
<br /></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-84831926091978079152013-01-27T16:20:00.001+07:002013-01-29T18:01:11.465+07:00Formula Hati - 5<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: large;">Memperbanyak Dzikir kepada Allah</span><br />
<br />
<div style="text-align: left;">
<span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Di antara sarana yang paling besar untuk kelapangan ketentraman hati ialah memperbanyak berdzikir kepada Allah. Berdzikir ini memiliki pengaruh yang mengagumkan bagi kelapangan dan ketentraman hati dan hilangnya kegelisahan dan kegundahan. Allah berfirman:</span></div>
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;"><b><span style="font-size: large;">الا بذكر الله تطمئن القلوب</span></b></span></div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
</div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;"></span></div>
<span style="font-size: small;"><i>Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tentram ( QS. Ar Ra'd:28 )</i></span><br />
<span style="font-size: small;"><br />Maka, berdzikir kepada Allah memiliki pengaruh yang agung untuk terwujudnya maksud ini, oleh sebab keistimewaan berdzikir itu sendiri dan oleh subab dianugerahkanya balasan dan pahala bagi seorang hamba lantaran dzikirnya itu.</span>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-8280647575180628992013-01-23T06:55:00.002+07:002013-01-23T06:55:37.142+07:00Makna Tawakkal<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
Allah berfirman dalam surat Al-Maidah : 23 yang artinya;<br />
Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar benar orang yang beriman.<br />
<br />
Imam Ahmad berkata : Tawakkal adalah amal hati, karena itu ia bukan dinyatakan dengan perkataan lisan dan amal anggota tubuh. Juga bukan termasuk masalah ilmu dan teori.<br />
Namun ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa tawakkal adalah ilmu hati dan makrifat yang merupakan pemberian dari Allah SWT.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Sahl berkata; Tawakkal adalah kepasrahan kepada Allah menurut apa yang Dia kehendaki.<br />
<br />
Bisyr Al-Hafi berkata;adakalanya seseorang berkata" aku bertawakal kepada Allah" ' tetapi dia berdusta kepada Allah. Kalau memang dia bener benar bertawakkal kepada Allah, tentunya dia meridoi terhadap apapun yang dilakukan Allah terhadapnya.<br />
<br />
Dzun Nun berkata; Tawakkal artinya tidak bersandar krpada pengaturan diri sendiri, berlepas dari daya dan kekuatan diri sendiri. Tawakkal seorang hamba semakin kuat jika dia mengetahui bahwa Allah mengawasi dan melihat dirinya.<br />
<br />
Pada hakikatnya tawakkal ini terangkai dengan berbagai perkara, di antara perkara tersebut adalah sbb;<br />
<ol style="text-align: left;">
<li> Mengetahui Allah. Sifat, kekuasaan, kecukupan, kesendirian, tempat kembalinya segala urusan kepada ilmu Nya dan yang terjadi berkat kehendakNya dan kekuasaanNya .</li>
<li>Menetapkan sebab akibat. Tawakkal merupakan sebab yang paling besar untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan menyingkirkan apa yang tidak diinginkan. Siapa yang mengingkari sebab berarti tawakkalnya tidak benar, tapi tawakkal yang sempurna juga tidak mengandalkan sebab semata.</li>
<li>Memantapkan hati pada pijakan tauhid. Tawakal seorang hamba tidak dianggap benar jika tauhidnya tidak benar. Bahkan hakikat tawakkal adalah tauhidnya hati.</li>
<li>Menyandarkan hati kepada Allah, dan merasa tenang karena bergantung kepada Nya.</li>
<li>Berbaik sangka kepada Allah. Seberapa jauh baik sangkamu kepada Allah, maka sejauh itu pula tawakkalmu kepada allah.</li>
<li>Ketundukan dan kepasrahan hati kepada allah serta memotong seluruh perintangnya.</li>
<li>Pasrah. Inilah ruh tawakkal.</li>
</ol>
</div>
Jika seseorang telah sampai pada derajad ini, selanjutnya dia akan beralih ke derajad lain yaitu RIDHA.<br />
<br />
Sumber: Madarijus Salikin, Imam Ibnu Qayyim<br />
<div>
<div>
<br />
<br /></div>
</div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-16603981477535136572012-12-18T06:06:00.000+07:002012-12-18T06:06:21.789+07:00Hakikat Asma' Allah SWT<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauiziyah dalam kitabnya " Manazilus Saiirin" menjelaskan hakikat Asma' Allah :<br />
<br />
Pembuktian Asma' Allah dilandaskan pada dua dasar;<br />
<br />
<b>Pertama:</b><br />
Asma' Allah menunjukan sifat sifat kesempurnaan-Nya. Asma' ini merupakan sifat yang kesemuanya baik " <i>Husna</i> " . Sebab jika asma' itu sekedar lafadz, yang tidak mempunyai makna apapun maka ia tidak bisa disebut husna dan tidak menunjukan kesemprnaan, lalu akan terjadi kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan, sehingga dalam berdoa kita mengucapkan " Ya Allah sesungguhnya aku menganiaya diriku sendiri maka ampunilah aku karena sesungguhnya Engkau pendendam ".<br />
Penafian Asma' Al-Husna termasuk kufur besar. Jika Allah mensifati dirinya " <i>Al-Qawiyyu </i>" berarti memang Dia benar benar mempunyai kekuatan, begitu pula asma' yang lainya.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<b>Kedua:</b><br />
Satu dari berbagai asma' Allah disamping menunjukkan kepada Dzat dan sifat yang disesuaikan denganya, maka ia juga menunjukan dua bukti lainya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As Sami' menunjukan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandunganya. Begitu pula asma' yang lainya.<br />
<br />
Jika sudah ada kejelasan dua dasar ini, maka asma' Allah menunjukan kepada keseluruhan Asma' Al-Husna dan sifat sifat yang tinggi. Hal ini menunjukan kepada Ilahiah Nya.<br />
<br />
Maksud sifat sifat Ilahiyah adalah sifat sifat kesempurnaan yang terlepas dari <i>penyerupaan</i> dan <i>permisalan</i>, <i>aib</i> dan <i>kekurangan</i>. Karena Allah menambahkan semua Asma' Al-Husna ke asma' Nya yang Agung ini.<br />
<br />
Asma' Allah layak untuk semua Asma' Al -Husna, dan menunjukan kepadanya secara global. Sedangkan Asma' Al-Husna itu sendiri merupakan rincian dari sifat sifat Ilahiyah yang berasal dari Asma'Nya<br />
Asma' Allah menunjukan keadaan Nya sebagai Dzat yang disembah. Semua makhluk menyembah-Nya dengan dengan penuh rasa cinta, pengagungan dan ketundukan. </div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-81905919688027735172012-11-30T05:52:00.000+07:002012-11-30T05:52:52.928+07:00Formula Hati 4<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: large;">Konsentrasi untuk Menghadapi Hari Ini</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Di antara sarana untuk dapat menangkis kesedihan dan keguncangan hati adalah terpusatnya pikiran sepenuhnya untuk memberikan perhatian kepada pekerjaan hari ini yang sedang dihadapinya dan menghentikan pikiran dari menoleh jauh ke waktu mendatang dan dari kesedihan menengok masa lampau.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Karenanya, Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam berlindung kepada Allah dari <b>al-hamm </b>(kegundahan) dan<b> al-hazn</b> (kesedihan). </span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-size: small;"><b>Al-huzn</b> adalah kesedihan terhadap perkara perkara yang telah lampau yang tidak mungkin diputar ulang ataupun diralat.</span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Al-hamm</b> adalah kegundahan yang terjadi disebabkan oleh rasa takut dan khawatir terhadap sesuatu hal yang mungkin terjadi di masa mendatang.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Hendaknya seorang hamba menjadi putera harinya, yakni: menjadi manusia terbaik dalam menyongsong harinya yang sedang dihadapinya dan sekaligus mampu mengkonsentrasikan keseriusan dan kesungguhanya untuk memperbaiki hari dan detik yang sedang dihadapinya itu. Sehingga akan terkonsentrasi untuk mengoptimalkan pekerjaan dan dapat terhibur dari kegundahan dan kesedihan.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :</span><br />
<i><span style="font-size: small;">Berupaya keraslah untuk mencapai apa yang bermanfaat bagimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah serta janganlah kamu lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata; " Andaikan aku berbuat demikian tentu akan terjadi demikian dan demikian ". Akan tetapi katakanlah," Allah telah mentaqdirkan ini ". Allah melakukan apa yang dikehendaki Nya. Karena kata " andaikan " akan membukakan pintu perbuatan syetan.</span></i><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Dalam hadits ini, Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam memadukan antara dua hal. Yaitu antara perintah berupaya keras untuk mencapai hal hal yang bermanfaat dalam berbagai kondisi, seiring memohon pertolongan kepada allah serta tidak tunduk mengalah kepada sikap lemah, yaitu sikap malas yang membahayakan, dan antara sikap pasrah kepada Allah dalam hal hal yang telah lampau dan telah terjadi seiring meniti dengan mata hati terhadap Qadha' dan Taqdir Allah.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Maka, segala kejadian terbagi menjadi dua bagian.</span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Pertama:</b> adalah hal yang dimungkinkan seorang hamba berupaya meraihnya atau hal yang dimungkinkan untuk menangkisnya atau meringankanya.</span><br />
<span style="font-size: small;"><b>Kedua:</b> adalah hal yang tidak dimungkinkan untuk melakukanya. Maka harus bersikap tenang, ridha dan pasrah.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Oleh karena itu, memedomi prinsip ini dengan baik adalah sarana menuju kesenangan hati dan hilangnya kegelisahan maupun kegundahan.</span><br />
<br /></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-1540165004230771632012-11-27T05:39:00.001+07:002012-11-27T05:39:32.799+07:00Memahami Hakekat Khusyu'<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Allah berfirman dalam surat al-Hadid:16 yang artinya;<br />
<i>Belumkah datang waktunya bagi orang orang yang beriman, untuk khusyu' hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).</i><br />
<br />
Ibnu Mas'ud r.a berkata, " Selang waktu antara keislaman kami dan teguran Allah terhadap kami hanya selama empat tahun ".<br />
Ibnu Abbas berkata, " Sesungguhnya allah menganggap lamban hati orang orang mukmin. Maka allah menegur mereka pada penghujung masa selama tiga belas tahun setelah turunya al-Qur'an".<br />
<a name='more'></a><br />
Lalu Allah berfirman dalam surat Al-Mukminuun : 1-2 yang artinya;<br />
<i>Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman, yaitu orang yang khusyu' dalam shalatnya .</i><br />
<br />
<b>Khusyu' menurut arti bahasa</b> adalah: tunduk, rendah dan tenang.<br />
<b>Sedangkan menurut istilah</b> adalah: keberadaan hati di hadapan Rabb, dalam keadaan tunduk dan merendah. yang dilakukan secara bersamaan.<br />
<br />
Di antara tanda tanda khusyu' adalah, jika seorang hamba dihadapkan kepada kebenaran, maka dia menerimanya dan tunduk serta patuh.<br />
Ada yang berpendapat, khusyu' artinya padamnya api syahwat dan tenangnya asap dada serta bercahayanya sinar di hati.<br />
Al-Junaid berkata, " khusyu' artinya ketundukan hati kepada Dzat Yang Maha Mengetahui yang ghaib ".<br />
<br />
Para ulama sepakat bahwa khusyu' adanya di dalam hati dan dan hasilnya ada di anggota tubuh atau anggota tubuhlah yang menampakan khusyu' itu.<br />
Nabi Muhammad saw. bersabda, " Takwa itu ada di sini " Sambil menunjuk ke dada smabil mengulanginya tiga kali.<br />
<br />
Menurut Imam Ibnu Qayyim, khusyu' ada tiga tingkatan yaitu:<br />
<ol style="text-align: left;">
<li>Tunduk kepada perintah, pasrah kepada hukum dan merendah karena melihat kebenaran.</li>
<li> Memperhatikan kepada penghambat jiwa dan amal, melihat kelebihan orang lain atas dirinya dan menghembuskan angin kefanaan.</li>
<li>Menjaga kesucian saat mencapai tujuan, membersihkan waktu dari riya', di hadapan orang lain dan tidak melihat kemuliaan pada diri sendiri.</li>
</ol>
<br /></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-24596786715511125022012-11-06T05:30:00.003+07:002012-11-06T05:35:02.817+07:00Doa doa Harian - 5<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<b><span style="font-size: large;">1. DOA KEPADA PENGANTIN</span></b><br />
<br />
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ</span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: blue;">( Barokallahu laka wa barokallahu alaika wa jamaa bainakuma fii khoirin )</span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><span style="font-size: large;"><br /><span style="color: black; font-size: large;">Artinya:</span></span></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;">Semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dalam kebaikan. </span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<b><span style="font-size: large;">2. DOA PENGANTIN KEPADA DIRINYA</span></b></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;">اَللّهُمَّ اِنِّى اَسْئَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ</span></span><br />
</div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: blue;">( Allahumma inni as aluka khoiroha wa khoiroma jabaltaha alaihi wa a'udzubika min syarriha wa syarrima jabaltaha alaihi )</span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: large;">Artinya:</span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;">Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada Mu kebaikan perempuan ini dan apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya. Dan aku mohon perlindungan kepada Mu dari kejelekan perempuan ini dan apa yang telah Engkau ciptakan dalam wataknya</span></span></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><span style="color: black;"><span style="font-size: small;"> </span></span> </span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><br /><b><span style="font-size: large;"><span style="color: black;"> </span></span></b></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><b><span style="font-size: large;"><span style="color: black;">3. </span></span></b></span></span><b><span style="font-size: large;">DOA SEBELUM BERSETUBUH</span></b></div>
<div style="text-align: left;">
<br /></div>
<div style="text-align: right;">
<span style="font-size: large;"><span style="color: blue;">بِسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا</span></span><br />
</div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: blue;">( Bismillahi Allahumma jannibna as syaitona wa jannibis syaitona ma rozaqtana )</span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: large;"><span style="color: blue;"><span style="font-size: large;"><br /><span style="color: black; font-size: large;">Artinya:</span></span></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: small;">Dengan nama Allah, ya Allah jauhkan kami dari setan, dan jauhkan setan untuk mengganggu apa yang Engkai rezekikan kepada kami. </span></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-48371254831897868772012-10-20T07:57:00.000+07:002012-10-20T08:02:07.327+07:00Pembagian Al-Qur'an<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: small;">Sejak zaman sahabat telah ada pembagian Al-Qur'an menjadi: 1/2, 1/3, 1/5, 1/7, 1/9 dan sebagainya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Pembagian tersebut hanya sekedar untuk hafalan dan amalan dalam tiap tiap sehari semalam atau di dalam shalat dan tidak ditulis di dalam Al-Qur'an atau di pinggirnya.</span><br />
<a name='more'></a><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Barulah pada masa Al Hajjaj at tsaqafi diadakan penulisan di dalam atau di pinggir Al-Qur'an dan ditambah dengan istilah istilah baru.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Salah satu pembagian Al-Qur'an itu, dibagi menjadi; 30 juz, 114 surat dan 60 hizb.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Tiap tiap satu surat ditulis namanya dan ayat ayatnya dan tiap tiap hizb ditulis di pinggirnya yang menerangkan; hizb pertama, kedua dan seterusnya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Dan tiap tiap satu hizb dibagi 4. Tanda seperempat hizb ditulis dengan <b>ربع</b> tanda 1/2 ditulis dengan <b>نصف</b> dan tanda 3/4 ditulis dengan <b>ثلاثة ارباع</b> .</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Pembagian cara inilah yang dipakai oleh ahli ahli qiroat Mesir, dan atas dasar ini pulalah percetakan Amiriyah milik Pemerintah Mesir mencetak Al-Qur'an semenjak tahun 1337 H sampai sekarang di bawah pengawasan para guru besar Al-Azhar.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Al-Qur'an terdiri dari: 114 surat dan dibagi menjadi 30 juz terdiri dari 554 ruku'.</span><br />
<span style="font-size: small;">Surat yang panjang berisi beberapa ruku', sedang surat yang pendek berisi satu ruku'.</span><br />
<span style="font-size: small;">Tiap tiap satu ruku' diberi tanda di sebelah pinggirnya dengan huruf: <b>ع</b> .</span><br />
<span style="font-size: small;">Al-Qur'an yang beredar di Indonesia dibagi menurut pembagian tersebut di atas, seperti cetakan Cirebon, Jepang dan lain lainya.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Adapaun pertengahan Al-Qur'an ( nishful Qur'an ), terdapat pada surat (18) Al-Kahfi ayat 19 pada lafadz : <b>وليتلطف</b> (walyatalattof).</span></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-61812714967879642712012-10-12T22:16:00.002+07:002012-10-12T22:16:40.691+07:00Atsar dan Hikmah 1<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<ol style="text-align: left;">
<li><span style="font-size: small;">Ibnu Asakir meriwayatkan dari Imam Ali ra. dia berkata, " Jadilah kalian lebih perhatian dengan terkabulnya amal daripada amal itu sendiri. Sebab satu amal tidak dianggap sedikit jika dia dibarengi dengan takwa, lalu bagaimana dengan amal yang terkabulkan ? "<a name='more'></a></span></li>
<li><span style="font-size: small;">Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa Ali ra. berkata, " Kerabat dekat adalah yang didekatkan oleh rasa cinta walaupun nasabnya jauh, sedangkan orang jauh adalah yang dijauhkan oleh permusuhan meskipun dekat nasabnya. Tidak ada satupun yang lebih dekat daripada tangan kepada jasad. Sesungguhnya jika tangan rusak, maka dia akan dipotong dan jika dia dipotong maka akan terputus ".</span></li>
<li><span style="font-size: small;">Said bin Mansur meriwayatkan dalam sunannya, bahwa Ali ra. berkata," Ambilah lima nasehat dariku : 1.Janganlah sekali kali seseorang takut kecuali atas dosa dosanya. 2. Janganlah menggantungkan harapan kecuali kepada Tuhanya. 3. Janganlah orang yang tidak berilmu merasa malu untuk belajar. 4. Janganlah seseorang yang tidak mengerti sesuatu merasa malu untuk mengatakan "Allahu A'lam "saat dia tidak bisa menjawab satu masalah. 5. Sesungguhnya kedudukan sabar bagi iman laksana kedudukan kepala pada jasad. Jika kesabaran hilang, maka akan lenyap pula keimanan, dan jika kepala hilang maka tidak ada artinya jasad.</span></li>
</ol>
<br /></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-12421432994846305302012-10-07T23:06:00.000+07:002012-10-07T23:10:08.164+07:00Huruf Huruf Hijaiyah Yang Ada Pada Permulaan Surat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
Di dalam Al-Qur'an terdapat 29 Surat yang dimulai dengan huruf huruf Hijaiyah atau yang dikenal dengan nama " Fawatihus Sshuwar " atau pembukaan surat surat.<br />
<br />
Adapun 29 Surat tersebut adalah sebagai berikut:<br />
<ol style="text-align: left;">
<li>Al-Baqarah : <b>الم</b></li>
<li>Ali Imron : <b>الم</b></li>
<li>Al A'raf : <b>المص</b></li>
<li>Yunus : <b>الر</b></li>
<li><a name='more'></a> Yusuf : <b>الر</b></li>
<li>Huud : <b>الر</b></li>
<li>Ar Raad : <b>المر</b></li>
<li>Ibrahim : <b>الر</b></li>
<li>Al Hijr : <b>الر</b></li>
<li>Maryam : <b>كهيعص</b></li>
<li>Taha : <b>طه</b></li>
<li>Asy syu'ara : <b>طسم</b></li>
<li>An Naml : <b>طس</b></li>
<li>Al Qashash : <b>طسم</b></li>
<li>Al Ankabut : <b>الم</b></li>
<li>Ar ruum : <b>الم</b></li>
<li>Luqman : <b>الم</b></li>
<li>As Sajdah : <b>الم</b></li>
<li>Yasiin : <b>يس</b></li>
<li>Shad : <b>ص</b></li>
<li>Al Mukmin : <b>حم</b></li>
<li>Fushilat : <b>حم</b></li>
<li>Asy Syuraa : <b>حم . عسق</b></li>
<li>Az Zukhruf : <b>حم</b></li>
<li>Ad Dukhon : <b>حم</b></li>
<li>Al Jatsiyah : <b>حم</b></li>
<li>Al Ahqof : <b>حم</b> </li>
<li>Qaaf : <b>ق</b></li>
<li>Al Qalam : <b>ن</b></li>
</ol>
</div>
Huruf huruf tersebut juga dikenal dengan nama " Al Ahruf Al Muqotto'ah " atau huruf hurf yang terputus .<br />
<div>
<br /></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-62560693640403510082012-09-30T14:53:00.000+07:002012-09-30T14:53:19.528+07:00Formula Hati 3<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: large;">Menyibukan Diri dengan Melakukan Suatu Pekerjaan atau Mengkaji Ilmu yang Bermanfaat</span><br />
<br />
<span style="font-size: small;">Di antara sarana untuk menangkis kegelisahan yang ditimbulkan oleh ketegangan saraf dan kekalutan hati karena beberapa hal yang mengeruhkan pikiran adalah " Menyibukan diri dengan suatu pekerjaan atau mengkaji Ilmu yang bermanfaat" .</span><br />
<span style="font-size: small;"></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"><br /></span><br />
<span style="font-size: small;">Hal ini dapat membuat hati melupakan kekalutanya dengan hal hal yang mengguncangkanya itu. Bisa jadi karenanya dapat melupakan beberapa penyebab yang telah membuatnya gundah dan sedih.</span><br />
<span style="font-size: small;">Dengan demikian, jiwanya senang dan semangatnya tumbuh dan bertambah.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Sarana ini pun bagi mukmin dan selain mukmin adalah sama. Hanya saja, orang mukmin berbeda dan unggul karena iman, keikhlasan dan keberharapanya kepada Allah melalui ilmu yang dipelajari dan diajarkanya dan melalui perbuatan baik yang dikerjakanya.</span><br />
<span style="font-size: small;">Jika pekerjaan itu berupa ibadah, maka ia melakukanya dengan yang semestinya sebagai ibadah. jika pekerjaan itu berupa kesibukan kerja dalam urusan duniawi atau aktivitas keseharian yang bersifat duniawi, maka ia sisipkan pada pekerjaan itu menjadi penolong baginya untuk melakukan ketaatan kepada Allah.</span><br />
<span style="font-size: small;">Hal ini mempunyai pengaruh yang efektif untuk menangkis kegundahan, kesedihan dan kesusahan.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Berapa banyak orang yang terkena keguncangan dan kekalutan batin, lalu terjangkiti berbagai penyakit. Ternyata terapi yang manjur adalah, melupakan penyebab yang membuat jiwanya kalut dan guncang dan menyibukan diri dengan suatu pekerjaan dari berbagai tugasnya.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Seyogyanya kesibukan yang ditanganinya itu adalah hal hal yang disenangi dan digandrungi jiwa. Karena hal itu lebih mengacu untuk terwujudnya tujuan yang bermanfaat. Wallahu A'lam.</span></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-37018520932471316872012-09-27T07:20:00.000+07:002012-09-27T07:20:01.460+07:00Waspada Terhadap Syirik dan Maksiat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Di antara bentuk bentuk syirik dan maksiat yang harus kita waspadai adalah;<br />
<br />
1. Tujuh macam yang membinasakan, yaitu:<br />
- Berbuat syirik ( menyekutukan Allah swt. ).<br />
- Melakukan sihir .<br />
- Membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan kebenaran.<br />
<br />
- Memakan riba.<br />
- Memakan harta anak yatim.<br />
<a name='more'></a><br />
- Lari dari medan perang.<br />
- Menuduh berzina terhadap wanita mukminah yang suci.<br />
2. Durhaka terhadap kedua orang tua.<br />
3. Memutuskan hubungan silaturahmi dengan para kerabat.<br />
4. Menjadi saksi palsu.<br />
5. Mengucapkan sumpah dusta.<br />
6. Menyakiti tetangga.<br />
7. Berbuat zalim terhadap sesama manusia, dalam hal darah, harta dan kehormatan.<br />
8. Minum minuman yang memabukan.<br />
9. Berjudi.<br />
10. Ghibah ( menyebutkan aib orang lain sedang ia tidak hadir ).<br />
11. Mengadu domba ( menyebarkan permusuhan ).<br />
<br />
Dan dosa dosa lainya yang dilarang oleh Allah dan Rasul Nya saw.</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-66891496448690526672012-09-25T07:06:00.000+07:002012-09-25T07:06:25.456+07:00Surat surat dalam Al-Qur'an<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: small;">Surat surat yang terdapat dalam Al-Qur'an berjumlah 114 surat.</span><br />
<span style="font-size: small;">Nama namanya, batas batas tiap surat, susunan ayat ayatnya, adalah menurut ketentuan yang diajarkan oleh Rasulullah saw. sendiri ( <b>Tauqifi</b> )</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Sebagian dari surat Al-Qur'an mempunyai satu nama dan sebagian yang lain mempunyai lebih dari satu nama.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Ditinjau dari segi panjang dan pendeknya, maka surat surat dalam Al-Qur'an dibagi empat macam:</span><br />
<span style="font-size: small;"></span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"><br /></span><br />
<span style="font-size: small;"><b>1. As Sab'ut tiwal</b></span><br />
<span style="font-size: small;">Maksudnya : 7 Surat panjang, terdiri dari; Al Baqarah, Ali Imron, An Nisa', Al A'raf, Al An'am, Al Maidah, dan Yunus.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><b>2. Al Miuun</b></span><br />
<span style="font-size: small;">Maksudnya : Surat surat yang berisi kira kira seratus ayat atau lebih, seperti; Hud, Yusuf, Mukmin dsb.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><b>3. Al Matsani</b></span><br />
<span style="font-size: small;">Maksudnya : Surat surat yang berisi kurang sedikit dari seratus ayat, seperti; Al Anfal, Al Hijr dsb.</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;"><b>4. Al Mufassol</b></span><br />
<span style="font-size: small;">Maksudnya : Surat surat pendek seperti; An Nas, Al Falak, Al ikhlas dsb.</span><br />
<br /></div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-18215508391243447932012-09-23T08:38:00.002+07:002012-09-23T08:38:59.518+07:00Ada Apa dengan Firasat<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: small;">Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya " Manazilus Sairin ", menjelaskan tentenag firasat sebagai berikut;</span><br />
<span style="font-size: small;"><br /></span>
<span style="font-size: small;">Firman Allah dalam Surat Al Hijir: 75</span><br />
<br />
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: center;">
<span style="font-size: large;">اِنَّ فِى ذلِكَ لَآياتٍ لِلْمُتَوَسِّمِيْنَ</span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><i><span style="color: black;">" Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat tanda tanda (Kekuasaan Kami) bagi orang orang yang memperhatikan tanda tanda ".</span></i></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><i><span style="color: black;"> </span></i></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Menurut Mujahid, al mutawassimin di dalam ayat ini adalah orang orang yang memiliki firasat.<a name='more'></a></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Firasat ada tiga macam:</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"> </span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><b>Pertama</b>: Berkaitan dengan Iman.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Sebabnya adalah cahaya yang dimasukan oleh Allah ke dalam hati hamba, sehingga dia bisa membedakan antara yang hak dengan yang batil, yang jujur dengan yang dusta.<br />Firasat ini tergantung pada kekuatan iman. Siapa yang imanya lebih kuat, maka firasatnya lebih tajam.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Abu Said Al Kharaz berkata, " Siapa yang memandang dengan cahaya firasat, maka dia memandang dengan cahaya kebenaran".</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Abu Bakar As Siddiq ra adalah orang orang yang paling besar firasatnya dari umat ini. Sesudahnya adalah Umar Bin Khattab ra.Tentang ketepatan firasat Umar ini sudah terkenal. Jika dia berkata " kukira begini" maka yang terjadi pun seperti yang dikatakanya itu. Bahkan firasat Umar ini juga sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah. Firasat para sahabat adalah yang paling benar.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dasar jenis firasat ini berasal dari kehidupan dan cahaya yang dianugerahkan Allah kepada hamba hamba yang dikehendaki Nya, sehingga hati mereka menjadi hidup, bersinar dan bercahaya, sehingga hampir hampir firasatnya tidak meleset.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><b>Kedua</b>: Firasat dengan cara latihan.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Membuat perut lapar, tidak tidur malam dan menyendiri. Jika jiwa dibebaskan dengan segala macam kaitan, maka dia akan memiliki firasat dan pengungkapan hakikat, tergantung dari porsinya. Firasat ini bisa didapatkan orang mukmin dan kafir, tidak menunjukan pada iman. Banyak orang bodoh yang terkecoh dengan firasat ini, karena banyak pendeta yang memiliki kejadian kejadian yang menakjubkan. Ini merupakan firasat yang tidak mengungkap kebenaran yang bermanfaat dan tidak dengan cara yang lurus.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><b>Ketiga</b>: Yang berkaitan dengan bentuk penciptaan.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Yaitu seperti yang diisyaratkan para dokter dan lain lainya. Mereka mengacu pada bentuk penciptaan untuk mengetahui akhla, karena memang ada kaitan erat di antara keduanya, sesuai dengan hikmah yang ditetapkan Allah, seperti pembuktian dengan kecilnya ukuran kepala yang lebih kecil dari ukuran normal membuktikan kecilnya ukuran otak, yang menunjukan sempitnya pikiran.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Kebanyakan firasat dikaitkan dengan mata, karena mata merupakan cermin hati dan tanda yang tersimpan di dalamnya. Kemudian dengan lisan, karena lisan merupakan utusan dan pentejemahnya.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dasar firasat juga bisa dikaitkan dengan penampilan, keliaran, keadaan rambut, dan lain sebagainya. Tapi masalah ini harus diperhatikan dan seseorang tidak boleh langsung membuat keputusan berdasarkan firasat semata. Tanda tanda ini hanya sebagai sebab dan bukan suatu yang pasti, yang hukumnya berbeda tergantung dari perbedaan syarat syarat atau karena adanya penghalang.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;"><br /></span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Menurut Imam Ibnu Qayyim, " Firasat ialah menyimak hukum hukum sesuatu yang tidak ada di tempat, tanpa meminta bukti kehadiranya ".</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Maksudnya, jika engkau bisa melihat hukum sesuatu yang tidak ada di tempat. Jika dengan cara menyimak itu engkau bisa mengetahui hukumnya, maka itulah yang disebut firasat.</span></span></div>
<div style="background-color: white; color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: large;"><span style="color: black; font-size: small;"> </span> </span></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-8441520305178183557.post-27518737994490729922012-09-21T19:42:00.000+07:002012-09-21T19:43:23.109+07:00Menyebarkan Salam dan Keutamaanya<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-size: large;">1. Rasulullah s.a.w bersabda;</span><br />
<div style="text-align: right;">
<br /></div>
<div style="color: blue; text-align: right;">
<span style="font-size: large;">قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لاَ تَدْخُلُوْا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا ولاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا, أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْئٍ اِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ , أَفْشوْا السَّلاَم بَيْنَكُمْ - رواه مسلم</span></div>
<div style="color: black; text-align: left;">
<span style="font-size: small;">Artinya:</span></div>
<div style="color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu tidak akan masuk ke Surga hingga kamu beriman, kamu tidak akan beriman secara sempurna hingga kamu saling mencintai, maukah kamu kutunjukan sesuatu apabila kamu lakukan akan saling mencintai ? Biasakan mengucapkan salam di antara kamu ( apabila bertemu ) </span></span></div>
<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
<span style="font-size: large;">2. Rasulullah s.a.w bersabda;</span><br />
<br />
<div style="color: blue; text-align: right;">
<span style="font-size: large;"> ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الاِيْمَانَ : الاِنْصَافُ مِنْ نَفْسِكَ , وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعَالَمِ , وَلاِنْفَاقُ مِنَ الاِقْتَارِ</span></div>
<span style="font-size: small;">Artinya:</span><br />
<span style="font-size: small;">Ada tiga perkara, barangsiapa yang mengumpulkanya, maka sesungguhnya telah mengumpulkan keimanan: 1. Berlaku adil terhadap diri sendiri; 2. Menyebarkan salam ke seluruh penduduk dunia; 3. Berinfak dalam keadaan fakir.</span><br />
<br />
<br />
<span style="font-size: large;">3. Rasulullah s.a.w bersabda;</span><br />
<br />
<div style="color: blue; text-align: right;">
<span style="font-size: large;">وَعَنْ عبداللهِ بن عمر رضى الله عنهما : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : أَيُّ الاِسْلاَمِ خَيْرٌ , قال : تُطْعِمُ الطَّعَامَ , وَ تَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ</span></div>
<div style="color: black; text-align: left;">
<span style="font-size: small;">Artinya:</span></div>
<div style="color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: small;"><span style="color: black;">Dari Abdullah bin Umar r.a, dia berkata: Sesungguhnya seorang laki laki bertanya kepada Nabi s.a.w, manakah ajaran Islam yang lebih baik ? Rasulullah s.a.w bersabda : " Hendaklah engkau memberi makanan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal " </span></span></div>
<div style="color: blue; text-align: left;">
<span style="font-size: large;"><span style="color: black; font-size: small;"> </span> </span></div>
</div>
Abu A'lahttp://www.blogger.com/profile/12925735810741748558noreply@blogger.com